( dikutif dari hariyasasanjaya.blogspot.com)
KAMUS INDONESIA-INGGRIS
FALSAFAH HIDUP
Sabtu, 25 Oktober 2008
Cleft lips
( dikutif dari hariyasasanjaya.blogspot.com)
Anti-Mullerian Hormon
dr Doster Mahayasa SpOG(K)
ABSTRAK
Latar Belakang : AMH dihasilkan oleh sel granulosa folikel pre antral dan antral, berperan membatasi jumlah folikel primordial berkembang menjadi folikel primer. Kadarnya dapat diukur pada serum, relatif tidak berfluktuasi sepanjang siklus haid dan kadarnya semakin menurun secara gradual seiring bertambahnya usia seorang wanita. Jumlah folikel yang berkembang tergantung dari jumlah folikel yang masih tersisa pada ovarium dan jumlah folilel dominan serta jumlah oosit pada stimulasi ovarium tergantung pada jumlah folikel yang berkembang. Oleh karena itu pemeriksaan kadar serum basal AMH secara tidak langsung dapat menggambarkan cadangan ovarium serta dapat memprediksi respon ovarium terhadap stimulasi ovulasi.
Tujuan : Mempelajari korelasi kadar serum basal AMH dengan respon ovarium terhadap stimulasi ovulasi pada program fertilisasi in vitro.
Bahan dan Cara : Wanita yang telah memenuhi kriteria untuk mengikuti program fertilisasi in vitro di Klinik Fertilitas RS Siloam Surabaya dan Graha Amerta Surabaya mulai Februari 2007 disertakan sebagai sampel penelitian sampai terpenuhi sejumlah 69 sampel. Kadar AMH diperiksa pada hari ketiga haid bersamaan dengan pemeriksaan hormonal basal yang lain. Dilakukan pengumpulan data selama proses stimulasi sampai dengan prosedur petik ovum meliputi : jumlah ampul gonadotropin, kadar E2 serum saat hCG, jumlah folikel pre ovulasi dan jumlah oosit. Dilakukan analisa statistik dengan Pearson’s correlation test untuk menunjukkan hubungan antara variabel.
Hasil : Terdapat hubungan yang bermakna antara kadar serum basal AMH dengan : jumlah folikel pre ovulasi (r=0,529 , p < 0,01) , dengan jumlah oosit (r=0,535 , p<0,01), dengan kadar E2 serum saat pemberian hCG (r=0,456 , p< 0,01) dan jumlah ampul gonadotropin per folikel pre ovulasi (r= - 0,311 , p<0,01).
Kata kunci : kadar serum basal AMH, respon ovarium, stimulasi ovulasi.
Screening asymptomatic bacteriuria dengan leukosituria
dr hariyasa sanjaya spog
Dari data di atas prevalensi luekosituria pada ibu hamil cukup tinggi yaitu 45,65%. Kemungkinan kontaminasi pada saat pengumpulan specimen urin mungkin saja terjadi. Walaupun dalam setiap pemeriksaan urin, pasien telah diberi penjelasan yang memadai tentang pengambilan urin pada pertengahan curah (midstream).
Data tersebut di atas memberikan pertanyaan apakah perlu skrining asymptomatic bacteruria pada kehamilan dilakukan? Dan untuk menghemat biaya apakah cukup dengan memeriksa leukosituria saja?
Penelitian yang dilakukan oleh Y Uncu, G Uncu, A Esmer, N Bilgel1 mendapatkan kesimpulan bahwa sensitivitas, spesifisitas, positive predictive value dan negative predictive value untuk leucocyturia sebagai test screening untuk asymptomatic bacteriuria adalah 91.3%, 83.6%, 45.6% dan 98.5%, secara berurutan. Dan mereka mendiagnosis preterm labor pada enam dari 23 (26%) dengan asymptomatic bacteriuria dan 16 dari 163 (9.3%) orang dari kelompok wanita dengan kultur urin negatif.
Daftar pustaka
1.http://cat.inist.fr/?aModele=afficheN&cpsidt=14653131
Jumat, 10 Oktober 2008
Hubungan seksual pada saat hamil bolehkah?
Rabu, 08 Oktober 2008
BALI PULAU"DEWATA" BANGKITLAH
OLEH :dr Made Darmayasa SpOG(K)
Entah sejak kapan sebutan ini diberikan kepada Bali ? Siapa yang pertama kali memberikan sebutan seagung itu ? Kenapa sebutan itu diberikan kepada Bali. Masih banyak pertanyaan yang dapat diajukan berkaitan dengan sebutan tersebut. Banyak pula orang yang telah memberikan penjelasan. Saya minta maaf, karena saya tidak pernah membaca; Babad, Purana, maupun sastra lain berkaitan dengan nama Bali. Apalagi dengan embel-embel Pulau Dewata. Saya akan berangkat dari suatu istilah yang disebut oleh seorang suci. Beliau mengatakan bahwa dalam shastra India kuno ada istilah “Bhutha-Bali”. Apakah nama Bali berasal dari istilah ini ?Selama ini, Bali memang secara sempit diartikan dengan Banten. Ada lagi yang mengartikan Bali secara umum adalah kurban, yang berarti pemotongan hewan. Ini benar-benar arti yang dibelokkan. Arti sejati dari kata itu adalah pajak yang harus dibayar. Umumnya kita membayar pajak kepada pemerintah untuk air minum, listrik, telepon, pajak bumi, bangunan/rumah dan lain-lainnya, bukan ?. Sama halnya; agar kecemasan, kegelapan, dan kesedihan yang kita alami dihilangkan kemudian kebahagiaan dan kedamaian yang meninggalkan kita diberikan kembali, kita harus membayar pajak tertentu kepada Panchamahabhuta(lima unsur/elemen), yang menopang kehidupan. Pajak yang dimaksudkan itulah yang disebut dengan Bhutabali, dalam bentuk Thyaga(pengorbanan) yang dibayar kepada Panchamahabhuta melalui Yajna. Inilah makna Bali dalam konteks tersebut. Bagaimana hal ini dapat dijelaskan ?Alam semesta, Nay, dan setiap mahkluk hidup mengandung unsur Pancha Maha Bhuta(lima elemen yang terdiri dari unsur tanah, air, api, udara dan ether/akasa). Tanah mempunyai segala kemampuan laten yang dimiliki oleh setiap ciptaan. Bumi mempunyai segenap kemampuan dan bahan yang dibutuhkan untuk kehidupan manusia serta semua mahkluk lain. Ibu bumilah merupakan perwujudan segala kemampuan yang melindungi dan memelihara semua mahkluk. Jika bumi tidak bergerak saja, maka segenap ciptaan akan berakhir. Demikian juga halnya dengan air dan api. Manusia dan ciptaan yang lain juga mengandung unsur air dan api. Tubuh kita segera ambruk kalau tidak ada kedua unsur ini. Di dalam tubuh kita ada Jatharagni(api pencernaan), bahkan didalam lautpun ada Badabagni. Unsur udara tidak terbatas pada suatu tempat tertentu, tetapi memenuhi segala sesuatu. Manusia dapat bertahan hidup kalau tidak ada makanan, tetapi akan segera mati kalau tidak mendapatkan udara. Sedangkan unsur ether(aakasha) adalah asal muasal unsur yang lain. Sehingga disebut dengan Shabda Brahman. Kesimpulannya, kelima unsur/elemen ini memenuhi seluruh semesta serta melindungi dan menopang kehidupan. Sesungguhnya mereka adalah(perwujudan) Tuhan.Keberadaan yang sesungguhnya adalah Brahman. Beliau meresapi dan melingkupi kelima unsur/elemen tersebut. Dengan demikian kelima unsur/elemen ini adalah wujud Tuhan(Five Elements are Form of Divinity). Kemanapun kita melihat, ke planet manapun kita pergi, kita hanya akan mendapatkan bentuk kelima unsur ini yang diselimuti oleh alam semesta yang maha luas. Demikian juga kelima unsur/elemen tersebut adalah penopang alam semesta, tubuh kita, dan setiap ciptaan baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Kelima elemen inilah yang secara langsung maupun tidak langsung menopang kehidupan manusia. Sudah sewajarnyalah manusia mengucapkan terimakasih dan rasa syukur yang dalam kepadanya. Inilah makna sesungguhnya Bhutabali. Astungkara ! ! Sungguh luar biasa konsep ini.Dengan spirit ini, semoga kita mendapatkan spirit pengorbanan, pemurnian Yajna dan kesadaran, serta membawa kita menuju kebahagiaan Atma. Jadi tidaklah benar kalau Yajna yang kita lakukan dengan motif-motif ekonomi atau motif lain. Seolah-olah kita sedang malakukan barter dengan Tuhan. “Kalau usaha saya sukses, saya sanggup ngaturang Guling,” dll. Dapat dipastikan bahwa kalau pelaksanaan Yajna mengikuti konsep Bhutabali ini, keselamatan dan kesejahteraan duniawi akan menyusul. Bukan sebaliknya, motif ekonomi yang melatarbelakangi pelaksanaan Yajna.Kita patut prihatin dengan berita seorang Profesor yang mempunyai otak dan pikiran yang ruwet sehingga keruwetan itupun dibawanya mati, bahkan menyisakan keruwetan baru bagi generasi penerusnya, seperti yang ditulis oleh bapak Dewa K Suratnaya, pada Media Hindu edisi 51. Seluruh pengetahuan dan keprofesorannya tidak sanggup untuk memahami makna spiritual pelaksanaan Yajna. Atas dasar itu dia ingin meniadakan pelaksanaan Yajna.Kenyataannya benar bahwa saat ini ada upaya-upaya pembusukan yang dilakukan oleh orang-orang untuk menghilangkan Yajna ini, dengan dalih ruwet, rumit, time and money consuming, dll. Hal ini bertambah parah dengan semakin malasnya pengikut Weda/orang Bali untuk melakukan revitalisasi dan reapresiasi terhadap konsep dan plaksanaan Yajna itu sendiri. Orang-orang Hindu khususnya di Bali, terlena dan terseret oleh gaya hidup masa kini, sehingga kehilangan banyak waktu untuk berbenah diri, memajukan ke-Balian/ke-Hinduannya dan menyelami jati dirinya. Kehilangan kesempatan untuk mendalami keluhuran konsep nilai kemanusiaan itu sendiri. Kembangkan budaya baca dan tulis tentang sastra-sastra suci kita, sehingga mempunyai kemampuan melihat aspek lebih tinggi dari setiap Yajna yang dilakukan.Jangan biarkan olok-olok ini berlangsung lebih lama lagi. Energi kosmis telah mengalami penguatan untuk meredam keresahan umat manusia saat ini. Pasanglah bola lampu dan jadikan diri kita sebagai bolamnya. Siapkan, dan siapkanlah dengan baik, sehingga kita menjadi terang, dan mampu menerangi. You are very fortunate that you have a chance to experience the bliss of the vision of the Sarvadaivathwa swaroopam (the form that is all forms of the Love) now, in this life itself. Sungguh luar biasa jaminan diatas. Bagaimana manusia Hindu menyadarinya ?Manusia Hindu, khususnya di Bali bangkitlah dari tidur panjangmu ! Sambut dan tatap cahaya cemerlang kebijaksanaan Weda. Biarlah dunia menyadari-Nya ! !.Brahman adalah sumber dan pelindung yang melingkupi seluruh ciptaan. Dia adalah kekuatan maha tinggi alam semesta dan Dia dapat melakukan apa saja sesuai kehendak Ilahi-Nya. Seluruh ciptaan, kelangsungan dan kehancuran alam semesta seluruhnya adalah kehendak-Nya. Tetapi semua yang dilakukan-Nya adalah untuk kebaikan seluruh alam semesta. Setiap kejadian di dunia ini sekecil apapun adalah atas kehendak-Nya. Kitalah penyebab seluruh penderitaan ini. Pada pengertian ketuhanan tidak ada kehendak untuk menyusahkan atau membuat duka cita. Seluruh yang Brahman lakukan adalah untuk kesejahteraan manusia/kemanusiaan. Manusia khususnya manusia Bali kini pergi kemana-mana, ilmu gaib, dukun sakti, mencari alat-alat mejik dan usaha-usaha bodoh lainnya untuk mengurangi penderitaan dan kesedihannya. Celakanya lagi, mereka bahkan saling menyalahkan dan menimpakan kesalahannya kepada orang lain terhadap kesakitan dan penderitaan dirinya. Mereka jarang mau melakukan pemeriksaan kedalam dirinya, karena sesungguhnya seluruh pengalaman baik buruk dalam hidupnya adalah cerminan dari dirinya sendiri. Apapun yang kita rasakan menyusahkan atau menyenangkan, berpikirlah selalu bahwa semuanya untuk kebaikan kita. Ketidakmampuan untuk merealisasikan kebenaran ini, membuat manusia khususnya Bali mengalami banyak penderitaan dan kesusahan. Setiap orang harus berusaha keras untuk menyadari kebenaran yang mendasari setiap kehendak Tuhan. Akibat pengaruh jaman Kali Yuga, manusia berhasil mengembangkan kecerdasannya pada beberapa cabang pengetahuan dengan semangat yang tinggi, tetapi justru berkurangnya kemampuan untuk memahami kebenaran abadi dibalik seluruh ciptaan. Oleh karena itu, adalah sangat penting bagi kita manusia khususnya manusia Bali untuk menanamkan dengan dalam Nammakam(Faith/Kepercayaan dan keyakinan). Kepercayaan dan keyakinan diibaratkan seperti sepasang mata bagi manusia. Tanpa kepercayaan dan keyakinan, manusia buta.Seseorang yang mempunyai kepercayaan kepada Tuhan akan dapat mengembangkan kepercayaan kepada setiap orang. Jadi setiap orang harus mengembangkan keyakinan yang mantap bahwa Tuhan itu adalah imanen dalam setiap mahkluk hidup, dan seluruh ciptaan. Upanishad mengatakan Isavasyam idam sarvam(seluruh alam semesta diresapi oleh Tuhan) dan Easvara sarva bhutanam(Tuhan melingkupi alam semesta). Tuhan adalah Immanent(tetap ada) didalam setiap ciptaan merupakan sebuah Nammakammu(keyakinan). Oleh sebab itu, seseorang harus mempunyai kepercayaan yang kuat kepada Tuhan, dalam wujud seluruh ciptaan.Seluruh kegiatan Yajna yang dilakukan adalah untuk kemajuan manusia dalam artian spiritualitas, bukan duniawi semata. Lakukan usaha keras untuk memahami prinsip spirtualitas dibalik kegiatan Yajna besar bahkan yang kecil sekalipun. Kalau melakukan Yajna untuk kepentingan duniawi semata itu namanya pengemis.“Menabur benih racun kita berharap memetik buah manis. Tak tahan menelan buah pahit yang didapat kita beralih dan menyalahkan Tuhan”Inilah yang terjadi saat ini. Oleh karena itu miliki dan kembangkan kepercayaan yang kuat didalam diri kita paada Tuhan dan yakini bahwa Beliau ada dimana-mana. Sarvatah panipadam tat sarva thokshi siromukham, sarvatah sruthimalooke sarvamavruthya tisthathi(dengan tangan, kaki, mata, kepala, mulut, dan telinga sebarkan sesuatu yang dikehendaki untuk kesatuan alam semesta).Dalam konteks seperti inilah semestinya Yajna yang harus dilakukan diseluruh Bali, bahkan di seluruh dunia. Kalau kebenaran ini dapat kita realisasikan dalam kehidupan, sebutan “Bali sebagai pulau dewata” adalah hal yang pantas. Jadilah manusia Hindu/Bali yang memahami nilai ketuhanan didalam diri kita, dan seluruh ciptaan.Jangan biarkan Bali dibusukkan dengan pelaksanaan Yajna yang bersifat Tamasik apalagi Rajasik. Terlebih lagi Yajna yang dilaksanakan tanpa manfaat spiritual sama sekali. Jangan pula biarkan Hindu dibusukkan oleh orang-orang yang ingin meniadakan Yajna dalam artian luas. Yajna adalah aktualisasi nilai spiritual Hindu. Terdapat tiga aspek dalam hal ini, yang meliputi; Karma(work=kerja), Upasana(worship=Yajna/persembahan/persembahyangan), danJnana(wisdom=kebijaksanaan). Hanya bila ketiga ini direalisasikan sebagai satu kesatuanlah segala buah manis Yajna akan dapat dihasilkan. Hal ini dapat dibayangkan seperti mempelajari Weda; chantingkan mantramnya, praktekkan nilai-nilai luhurnya, dan dapatkan anugrah-Nya.“Lokah Samasthah Sukhino Bhavantu”Semoga seluruh semesta sejahtera dan bahagiaMade DarmayasaRSUD. Kotabaru. Kalimantan Selatandmsogs@yahoo.co.id
BANTEN,KONOTASI,KEKINIAN
Banyaknya kejadian dan semakin kompleknya tuntutan manusia Bali dalam memenuhi kebutuhan hidup dan kehidupannya, menimbulkan masalah yang cukup serius dari berbagai aspeknya. Interaksi sosial, ekonomi, budaya, psikologi semakin rumit. Keterdesakan waktu, ketergesa-gesaan, perasaan tertekan menggeser hidup santai dan kebersahajaan orang Bali. Namun berapapun dahsyatnya faktor pengubah tatanan kehidupan sosial materialistis, ternyata tidak mampu menggemingkan apalagi mematahkan semangat sosial religius yang ditunjukkan dengan babantenan . Hal ini mungkin sulit dipahami oleh banyak orang termasuk intelektual yang berpengetahuan luas, berwawasan spiritual. Tapi tidak bagi orang awam sekalipun yang memiliki kesadaran alam tentang rasa dan mengerti makna kebalian orang Bali. Seruan, imbauan, intruksi yang didasarkan kewenangan maupun kekuasaan, penyadaran-penyadaran yang dilandasi hasil kajian ilmiah, intervensi, intimidasi, provokasi yang bersifat sumbang terhadap babantenan dari berbagai aspeknya, tidak menyurutkan niat orang untuk mabanten (menghaturkan sesaji). Bahkan sebaliknya, terjadi peningkatan niat dan usaha mengembangkan banten dan babantenan dalam frekuensi maupun volumenya.
Jika banten dianggap masalah sehingga perlu dipersoalkan, maka dibutuhkan “kejelasan” letak masalahnya. Apanya yang salah? Tidakkah “anggapan” merupakan faktor sebab perbedaan cara pandang dan sikap kita memberikan penilaian terhadap banten? Pencarian “akar” masalah berdasarkan sikap bijak sangat dibutuhkan. Karena banten dalam implementasinya merupakan hak “privacy” yang menyangkut keyakinan pribadi yang berkaitan dengan lingkungan, semesta, alam yang berkaitan dengan kedamaian hati seseorang. Pengaturan oleh para pihak hanya dapat dilakukan dalam kaitan sosial kemasyarakatan yang dapat diduga dan dibuktikan mengganggu keamanan, kenyamanan, dan kesenangan orang lain. Itu pun mesti sesuai dengan kewenangan dan ketentuan yang sah dan berlaku dengan mempertimbangkan Desa, Kala, Patra. Dari berbagai sumber dapat disimpulkan bahwa banten dan babantenan adalah merupakan cetusan hati manusia/penganut Hindu, sebagai satu pernyataan suksmaning manah (terimakasih) ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) atas karunia dari kehidupan yang diberikanNya. Dalam melaksanakan kehidupan atas kekurangan, semangat, kemerdekaan untuk mengelola hidup, manusia berintegrasi, berinterelasi, dan berinteraksi dengan berbagai kekuatan energi yang berada disekelilingnya, guna menciptakan tatanan kehidupan yang sejahtera, berkeadilan berdasarkan keselarasan dalam pertentangan membangun kesemestaan yang berkelanjutan.
Dari uraian yang tersurat pun yang tersirat, bahwa banten dan babantenan mengandung makna dualitas pemberian dengan pengorbanan yang dilandasi ketulusan yang bersifat naluriah ( instingtif ), terbebas dari pertentangan rasionalitas materialistis. Dasarnya , jujur terhadap rasa ( seh ), diyakini, dikerjakan dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab. Apapun dampaknya diterima dengan pikiran positif. Logikanya, bahwa karena ungkapan suksmaning manah didasarkan kepada pemberian (karunia dan kehidupan), maka yang disuguhkannya adalah hasil olah pikir, olah laku, olah rasa dari bentuk pemberian ke bentuk baru yang sudah terolah dalam tatanan yang mengandung unsur kesemestaan, keindahan, kemanfaatan, kelestarian bagi keberlanjutan. Artinya , bahan yang digunakan hendaklah yang dihasilkan—apapun itu—dengan bahasa kerennya local product , ditata menggambarkan tatanan kesemestaan dalam satu satuan ataupun total, dan menyempurnakannya dengan unsur-unsur keindahan yang bersumber dari ketrampilan maupun cita rasa.
Raringgitan pada janur, aroma dan warna yang alami pada suguhan, sehingga tampilan banten menjadi resik (bersih, estetis, dan etis). Baik banten yang akan dipersembahkan sebagai ungkapan syukur ( pangajum-ngajum dan pengharum) kepada Tuhan Semesta Alam maupun yang disajikan dalam pengorbanan sebagai bentuk terima kasih kepada energi lain ( babhutan ). Jika pemahaman banten seperti tadi telah diresapi dan diterima, maka banten bukanlah masalah yang perlu diperdebatkan tetapi merupakan sesuatu yang perlu dikawal dalam proses perubahan agar tidak melenceng dari hakekat yang tersirat sebagai media pembelajaran, pemantapan diri melalui olah pikir (melihat ke depan), olah laku (terampil), dan olah rasa (ketajaman naluri). Di samping sebagai upaya menjaga kelestarian dan keselarasan lingkungan (berbagai jenis tanaman, ternak dijaga, dipelihara dan ditata sesuai tatanan ruang karena memiliki nilai sosial dan ekonomi).
Penyadaran diri pada hakekat hubungan keselarasan kelemahan dan keterbatasan (mengurangi keserakahan dan menghayati makna berbagi) mengandung makna distribusi pendapatan dan penciptaan lapangan kerja. Jadi, yang penting dan terpenting berbicara dalam banten dan babantenan , bahwa penekanan tentang pemaknaan banten sebagai ungkapan suksmaning manah harus resik. Banten adalah perwujudan dari berkah, merupakan prasadam (yang harus dinikmati). Surudannya jangan dibuang, karenanya harus dibuat dari bahan-bahan yang bermutu dan layak dikonsumsi—diupayakan hasil lokal.
Sedangkan prinsip yang dipegang dalam penyelenggaraan yajnya dengan babantenan adalah tepet , genep tanding tuna surud , guna mencegah terjadinya pemborosan sekaligus menepis issue bahwa banten mahal, boros dan merupakan aktifitas yang memproduksi sampah. Jangan pernah berhenti mabanten , yang penting rencanakan dengan baik sesuai kemampuan. Kerjakan bersama dalam kebersamaan untuk membangun harmonisasi keluarga melalui pelatihan penalaran minat dan bakat pada pembuatan sarana banten. Kaji ( review ) kelengkapan banten, perhatikan cara kerja ahli banten ( tapini ) untuk menambah pemahaman dan kemampuan berfikir positif terhadap dampak banten. Semoga banten lestari sehingga lingkungan dan budaya Bali tumbuh berkembang dinamis sesuai kultur kebalian orang Bali. Anak Agung Ngurah Made Arwata. Planolog.
Next >
Senin, 06 Oktober 2008
KONSELING KB
Merupakan hal yang amat penting, karena dapat membantu klien keluar dari berbagai pilihan dan alternative masalah kesehatan reproduksi dan keluarga berencana (KB). Konseling yang baik membuat klien puas (satisfied). Juga membantunya dalam menggunakan metoda KB secara konsisten dan sukses.
Lalu, apa yang dibutuhkan dalam konseling yang baik? Terutama untuk klien yang baru pertama kali mengunakan alat KB, ada 6 prinsip yang perlu diperhatikan. Konseling yang baik tidak banyak menyita waktu, yang penting informasi yang diberikan sesuai dengan apa yang dibutuhkan klien.
Kenali klien dengan baikà dengan sikap ramah, respek, tumbuhkan rasa saling percaya. Konselor dapat menunjukkan bahwa klien dapat berbicara terbuka sekalipun hal yang sensitive. Jawablah pertanyaan yang diajukannya secara lengkap dan terbuka. Jaga kerahasiaan dan jangan membicarakannya kepada orang lain.
Interaksià dengarkan, pelajari, dan respon klien. Karena tiap klien itu berbeda, mengerti benar apa yang dibutuhkannya, penuh perhatian, dan mengerti keadaannya. Oleh karena itu, dorong klien untuk bicara dan menjawab tiap pertanyaan yang diajukan secara terbuka.
Sesuaikan informasià pelajari informasi yang dibutuhkan klien, sesuaikan dengan tahap kehidupan yang dilaluinya. Contoh, pasangan muda tentunya ingin mengetahui lebih banyak tentang metoda sementara guna menunda kehamilan; wanita usia tua dengan informasi kontap/sterilisasi (MOW/vasektomi); lain hal dengan anak muda yang belum menikah, mereka butuh pengetahuan tentang bagaimana mengindari IMS termasuk HIV/AIDS. Oleh karenanya, onselor memberikan informasi yang akurat dengan bahasa yang dimengerti klien.
Hindari informasi berlebihà klien tidak dapat menggunakan semua informasi tentang tiap metoda KB. Informasi berlebih membuat klien sulit mengingat informasi pentingnya. Kita sebut ini dengan istilah, “overload information”. Jangan menyita banyak waktu dalam menyampaikan pesan/ informasi.
Metoda konselor, diharapkan klienà membantu klien menentukan pilihan, dan mengahrgai pilihannya. Konseling yang baik di mulai dari apa yang dipikirkan dan diajukan klien. kemudian mengamati apakah klien memahami metoda tersebut. Termasuk untung dan ruginya, bagaimana cara menggunakannya, Bantu klien memikirkan metoda lain juga dan bandingkanlah. Dengan cara ini memberi keyakinan atas metoda pilihannya. Jika tida ada pertimbangan medis, klien dapat menggunakan metodanya. Yang penting ialah klien menggunakan dalam waktu lama (konsisten) dan efektif.
Bantu klien untuk mengingat dan mengertià menunjukkan sampel/contoh alat KB, dorong ia menggunakannya. perlihatkan dan jelaskan dengan plifchart, poster, pamplet bergambar. Tiap saat amati klien, jika ia pulang, ingatkan untuk membagi informasi kepada orang lain.
6 TOPIK
Efektifitasà bagaimana kemampuan metoda KB mencegah kehamilan tergantung kepada penggunanya (akseptor). Banyaknya angka kehamilan karena kegagalan KB, tergantung dari konsistensi dan ketepatan penggunaannya. Konselor membantu klien mempertimbangkan apa dan bagaimana mereka menggunakannya, cocok dan tepatnya. Efektifitas merupakan pertimbangan penting dalam memilih metoda KB. Tetapi, banyak klien mempunyai pertimbangan lain.
Untung dan rugià ini penting, mengingat kerugian bagi kebanyakan orang, justru keuntungan bagi yang lainnya. Contoh, seorang wanita cenderung memilih injeksi, sebaliknya yang lain justru menghindarinya dengan alasan takut diinjeksi.
Efek samping dan komplikasià beritahu klien mengenai efek samping dari metoda KB tersebut. Kebanyakan metoda mempunyai efek samping yang hampir sama. Ingat, “efek samping dan komplikasi dapat dikatakan sebagai suatu kerugian”. Jadi bagaimana cara kita meminimalisasinya.
Bagaimana cara penggunaannya guna menghindari kegagalan. Apalagi metode pil yang notabene perlu diingat dengan baik, bagaimana pula membicarakan kondom dengan partner seksualnya.
Mencegah IMS termasuk HIV/AIDS telah merebak di berbagai Negara. Konselor harus membantu klien memahami dan mampu mengukur tingkat resiko untuk terkena IMS. Jelaskan tentang metoda A,B, C, dan D untuk mencegah IMS dan HIV/AIDS.
Kapan kemabalià banyak metoda yang mengharuskan klien kembali ke klinik. Seperti IUD, MOW/MOP yang mengharuskannya secara rutin kembali ke tempat konseling. Konselor selalu memberikan anjuran kepada klien untuk kembali kapanpun dan untuk pertimbangan apapun.
6 LANGKAH KONSELING
Dalam bahasa Inggris kita mengenal istilah GATHER, yakni:
G
reet client sambut klien secara terbuka dan ramah, tanamkan keyakinan penuh, katakana juga bahwa tempat tersebut sangat pribadi. Sehingga hal yang didiskusikan akan menjadi rahasia.
A
sk client about themselves tanyakan klien tentang permasalahannya, pengalamannya dengan alat KB dan kesehatan reproduksinya. Tanyakan pula apakah telah ada metoda yang dipikirkan. Kita menyikapi dan mencoba menempatkan kita pada posisi klien. Dengan begitu akan memudahkan kita memahami apa sebenarnya permasalahan klien. Dengan perkataan lain, klien sebagai subjek sekaligus objek.
T
ell client about choices tanyakan tentang pilihannya, fokuskan perhatian kepada metoda yang dipilih klien. Tetapi ajukan pula metoda lain.
H
elp client make an informed choices Bantu membuat pilihan yang tepat, dorong ia mengemukakan pendapatnya dan ajukan beberapa pertanyaan! Apakah metoda KB tersebut memenuhi criteria medik. Juga apakah partner seksualnya mendukung keputusannya. Jika mungkin bicarakan dengan keduanya. Tanyakan metoda apa yang klien putuskan untuk digunakan.
E
xplain fully how to use the choosen method jelaskan cara menggunakan metoda pilihannya, dorong ia berbicara secara terbuka, jawab pula secara terbuka dan lengkap. Berilah kondom kepada klien yang beresiko IMS. Selain menggunakan kondom, apakah juga menggunakan metoda KB lainnya.
R
eturn visits should be welcomed kunjungan kembali, bicarakan dan sepakati kapan klien kembali untuk follow-up. Dan selalu mempersilakan klien kembali kapan saja.
Siswandi, terjemahan bebas, dari Robert A. Hatcher, M.D, M.P.H, et.al. 1997. The Essentials of Contraceptive Technology, A handbook for Clinical Staff. The John Hopkins School of Public Health.
apakah tiap anak perlu dipeluasang?
Keyakinan adanya penjelmaan kembali menjadikan umat Hindu khususnya yang berkembang di Bali untuk berusaha ingin tahu, siapa yang sebenarnya yang menjelma atau numadi pada diri seseorang yang baru dilahirkan. Maka muncullah trasisi yang sepertinya menjadi kebiasaan (bukan keharusan) untuk “mepeluasang/meluasang”. Prakteknya, pihak keluarga yang mempunyai kelahiran bayi akan mendatangi seorang balian (dukun) yang kemudian dengan “kemampuannya” bisa “menghubungi” sang pitara sehingga tercipta semacam dialog atau Tanya jawab. Inti dialog itu berkisar pada pertanyaan tentang siapa gerangan yang menjelma (numadi) pada diri si bayi dan apa pula permintaannya. Biasanya akan disebutlah salah seorang leluhurnya yang sudah meninggal. Misalnya, “pernah” kakeknya yang bernama si A atau “pernah” neneknya yang bernama si C yang turun menjelma (numadi) pada diri si bayi.Perlu di pahami bahwa yang dimaksud menjelma disinitidak dalam pengertian secara genital. Artinya karena dikatakan pernah kakeknya yang menjelma maka bayi itu kelamin laki-laki. Tidak selalu begitu. Bisa jadi meski yang dikatakan turun menjelma adalah “pernah” neneknya tetapi kenyataannya yang lahir adalah bayi laki-laki.Dalam pemahaman Sradha Punarbhawa, yang turun menjelma adalah sifat-sifat roh sang numadi yang penjelmaan diharapkan dapat memperbaiki dan atau menyempurnakan karmanya dari asubhakarma menjadi subhakarma. Jadi, dalam proses penjelmaan, bukan jenis kelaminnya yang penting tetapi sifat-sifat sang dumadi itu yang melalui penumadiannya kini akan terus berikhtiar menyempurnakan karmanya. Dengan mengetahui bagaimana sifat-sifat sang Pitara yang yang numadi, maka diharapkan sang bayi yang kelak tumbuh menjadi besar dapat menyadari tentang siapa dan bagaimana sebenarnya jati dirinya. Kesadaran akan jati dirinya itulah yang diharapkan dapat mendorong dirinya untuk menjadi anak yang “saputra”. Karena hakikat “putra” adalah penyelamat leluhur dadi penderitaan.Tentang umur berapa biasanya si bayi dipeluasang, umumnya dilakukan setelah usai memperingati hari yang ke-12 dari kelahirannya. Tetapi ada pula yang langsung meluasang begitu si bayi dilahirkan. Dan dalam proses meluasang itu selain diketahui siapa yang numadi juga didapat keterangan perihal permintaan sang dumadi. Terhadap permintaan ini bisa ditunda pemenuhannya, tetapi karena umumnya permintaan sangat sederhana misalnya minta busana kuning atau agar dipertunjukkan wayang saat ngotonin nanti, maka sungguh tidak baik kalau sampai tidak dipenuhi.
Kamis, 02 Oktober 2008
Apa Ciri-ciri Karang Panes
2 oktober 2008
di kutip dari suryadistira
Ajaran agama Hindu dengan konsep kesemestaan alamnya senantiasa menekankan betapa perlu dan pentingnya diciptakan suatu kondisi harmonis antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan lingkungan. Kondisi yang harmonis itulah yang akan mengantarkan umat Hindu pada tujuan hidupnya – jagadhita dan moksha. Berpijak dadi pandangan demikian maka terhadap penggunaan suatu lingkungan (palemahan/pekarangan) patut juga memperhatikan segi-segi yang diyakini akan turut membuat kondisi harmonis. Karena itu lontar Ling Ira Bhagawan Wiswakarma telah menyuratkan perihal pekarangan atau tanah yang baik dan yang tidak baik dipergunakan untuk mendirikan suatu bangunan, baik perumahan, gedung, kantor, sekolah, tempat suci, dan lain-lain.
Pekarangan yang baik digunakan antara lain disebut: di timur (pascima) menemu labha (penghuninya akan mendapat untung), di utara: paribhoga wredhi (sejahtera dan bahagia), palemahan asah: sedang-sedang saja, palemahan inang: ceria dan asri serta berisi manik, palemahan mambu: sihin (dikasihi sahabat).
Selanjutnya pekarangan yang tidak baik dipergunakan lazim disebut sebagai “karang panes” dengan ciri-ciri berupa risiko yang diterima oleh si penghuni tanah tersebut yaitu: sering jatuh sakit, marah-marah tidak karuan, mengalami kebingungan , mudah bertengkar, dan sejenisnya. Ada pun jenis-jenis tanah yang tergolong karang panes ini di antaranya:
1. Karang Karubuhan
Karang yang berhadap-hadapan atau berpapasan dengan “pempatan” atau “pertigaan” atau persimpangan jalan.
2. Karang Sandanglawe
Karang yang memiliki pitu masuk berpapasan dengan pintu masuk pekarangan orang lain.
3. Karang Kuta Kabanda
Karang yang di apit oleh dua ruas jalan raya.
4. Karang Sula Nyupi
Karang yang berpapasan dengan jalan raya atau numbak marga atau numbak rurung.
5. Karang Gerah
karang yang terletak di hulu Pura/Parahyangan.
6. Karang Tenget
Karang bekas setra (sema), pura, pertapaan, dan lain-lain.
7. Karang Buta Salah Wetu
Karang dimana di tempat tersebut pernah atau sedang terjadi keanehan-keanehan (ketidak lumbrahan) seperti: kelahiran babi berkepala gajah, pohon kelapa bercabang, pisang berbuah melalui batangnya.
8. Karang Boros Wong
Karang yang memiliki dua pintu masuk yang sama tinggi dan berjajar.
9. Suduk Angga
Karang yang dibatasi oleh pagar hidup dimana akar dan tunasnya masuk ke pekarangan lain.
Terhadap jenis pekarangan/tanah di atas bisa saja digunakan asal sudah melalui upacara upahayu halaning palemahan seperti Caru Karang Panes. Tetapi akan lebih rahayu lagi jika tidak dipergunakan.
laparoscopic surgery
Laparoscopic Surgery for AdhesiolysisHarry Reich, M.D., F.A.C.O.G., FACS |
|
Postoperative adhesions occur after almost every abdominal surgery and are the leading cause of intestinal obstruction. Over 90% of patients undergoing abdominal operations will develop postsurgical adhesions. This was not considered surprising, given the extreme delicacy of the peritoneum and the fact that apposition of two injured surfaces nearly always results in adhesion formation.1 For the surgeon, laparoscopic lysis of bowel adhesions is fraught with danger to his/her reputation as bad results often are accompanied by poor reimbursement and lawsuits. This surgery is not for every surgeon! But if you take up the challenge, be prepared. Fatal sequelae of intraabdominal adhesions were reported as early as 1872 after removal of an ovarian tumor resulted in intestinal obstruction.2 Adhesions are the most common cause of bowel obstruction and most likely result from gynecologic procedures, trauma, appendectomies and other intestinal operations.3 Adhesions have also been proposed to cause infertility and abdominal and pelvic pain. Although nerve fibers have been confirmed in pelvic adhesions, their presence is not increased in those patients with pelvic pain.4 In addition, there does not appear to be an association between the severity of adhesions and complaint of pain. It is generally accepted that adhesions may impair organ motility resulting in visceral pain transmitted by peritoneal innervation.5 Many patients experience resolution of their symptoms after adhesiolysis.6-9 This may be complicated by placebo effect as demonstrated by one study that showed no difference in pain scores between patients who were randomized to adhesiolysis versus expectant management.10 In 1994, adhesiolysis procedures resulted in 303,836 hospitalizations, 846,415 days of inpatient care, and $1.3 billion in health care expenditures. Forty-seven percent of these hospitalizations were for adhesiolysis of the female reproductive system, the primary site for these procedures. In comparison to similar data from 1988, the cost of adhesiolysis hospitalizations is down. One significant influence on this trend is the increased use of minimally invasive surgical techniques resulting in fewer days of inpatient care.11 This chapter reviews the pathophysiology of adhesion formation, equipment and technique for adhesiolysis, and methods for adhesion prevention. Reusable 5 mm blunt-tipped sawtooth scissors and curved scissors cut well without cautery. Blunt or rounded-tip 5mm scissors with one stable blade and one moveable blade are used to divide thin and thick bowel adhesions sharply. Sharp dissection is the primary technique used for adhesiolysis to diminish the potential for adhesion formation; electrification and laser are usually reserved for hemostatic dissection of adhesions where anatomic planes are not evident or vascular adherences are anticipated. Thermal energy sources must be avoided as much as possible to reduce adhesion recurrence. Blunt-tipped, sawtooth scissors, with or without a curve, cut well (Richard Wolf Medical Instruments, Surgeons should select scissors that feel comfortable. To facilitate direction changes, the scissors should not be too long or encumbered by an electrical cord. This author prefers to make rapid instrument exchanges between scissors and microbipolar forceps through the same portal to control bleeding, instead of applying electrification via scissors. Electrosurgery Monopolar cutting current can be used safely, as the voltage is too low to arc to organs even 1 mm away. Cutting current is used to both cut and/or coagulate (desiccate) depending on the portion of the electrode in contact with the tissue. The tip cuts, while the wider body tamponades and coagulates. Monopolar coagulation current which uses voltages over 10 times that of cutting current can arc 1 to 2 mm and is used in close proximity to tissue, but not in contact, to fulgurate diffuse venous and arteriolar bleeders. It takes 30% more power to spark or arc in CO2 pneumoperitoneum than in room air; thus, at the same electrosurgical power setting, less arcing occurs at laparoscopy than at laparotomy. Monopolar electrosurgery should be avoided when working on the bowel unless the surgeon is well versed in this modality. The expert laparoscopic surgeon can use monopolar electrosurgery safely to cut or fulgurate tissue, but desiccation (coagulation) on bowel should be performed with bipolar techniques.13,14 Bipolar desiccation using cutting current between two closely opposed electrodes is safe and efficient for large vessel hemostasis.15,16 Large blood vessels are compressed and bipolar cutting current passed until complete desiccation is achieved, i.e., the current depletes the tissue fluid and electrolytes and fuses the vessel wall. Coagulating current is not used as it may rapidly desiccate the outer layers of the tissue, producing superficial resistance thereby preventing deeper penetration. Suction-irrigators with the ability to dissect using pressurized fluid should have a single channel to maximize suctioning and irrigating capacity. This allows the surgeon to perform atraumatic suction-traction-retraction, irrigate directly, and develop surgical planes (aquadissection). The distal tip should not have side holes as they impede these actions, spray the surgical field without purpose, and cause unnecessary tissue trauma when omentum, epiploic appendices, and adhesions become caught. The shaft should have a dull finish to prevent CO2 laser beam reflection, allowing it to be used as a backstop. The market is crowded with many aquadissection devices. In this section, general adhesiolysis, pelvic adhesiolysis, ovariolysis, salpingo-ovariolysis, and salpingostomy are described. The laparoscopic treatment of acute adhesions has not been included. However, the best treatment for sexually transmitted disease adhesive sequelae may be prevention through early laparoscopic diagnosis and treatment of acute pelvic infection, including abscesses. Acute adhesiolysis will often prevent chronic adhesion formation.17-19 Classification Peritoneal adhesiolysis is classified into enterolysis including omentolysis and female reproductive reconstruction (salpingo-ovariolysis and cul-de-sac dissection with excision of deep fibrotic endometriosis). Bowel adhesions are divided into upper abdominal, lower abdominal, pelvic, and combinations. Adhesions surrounding the umbilicus are upper abdominal as they require an upper abdominal laparoscopic view for division. The extent, thickness, and vascularity of adhesions vary widely. Intricate adhesive patterns exist with fusion to parietal peritoneum or various meshes. Extensive small bowel adhesions are not a frequent finding at laparoscopy for pelvic pain or infertility. In these cases, the fallopian tube is adhered to the ovary, the ovary is adhered to the pelvic sidewall, and the rectosigmoid may cover both. Rarely, the omentum and small bowel are involved. Adhesions may be the result of an episode of pelvic inflammatory disease or endometriosis, but most commonly are caused by previous surgery. Adhesions cause pain by entrapment of the organs they surround. The surgical management of extensive pelvic adhesions is one of the most difficult problems facing surgeons today. Surgical plan for extensive enterolysis 1. Division of all adhesions to the anterior abdominal wall parietal peritoneum. Small bowel loops encountered during this process are separated using their anterior attachment for countertraction instead of waiting until the last portion of the procedure (running of the bowel). Time frequently dictates that all adhesions cannot be lysed. From the history, the surgeon should conceptualize the adhesions most likely to be causing the pain, i.e., upper or lower abdomen, left or right, and clear these areas of adhesions. Preoperative preparation The palmed short trocar is positioned at a 90o angle inside the deep funnel shaped portion of the umbilical fossa where fascia and peritoneum meet and inserted through this into the peritoneal cavity at a 45o angle in one continuous thrusting motion, with wrist rotation. This is performed without lifting the anterior abdominal wall as the high intraabdominal pressure provides counterpressure against the parietal peritoneum to lift it above the large vessels below. The result is a parietal peritoneal puncture directly beneath the umbilicus. Once the trocar is in place within the abdominal cavity, the intra-abdominal pressure is lowered to 12-15 mm Hg to diminish the development of vena caval compression and subcutaneous emphysema. Special alternate entry sites and techniques are used when there is a high suspicion for periumbilical adhesions in patients who have undergone multiple laparotomies, have lower abdominal incisions traversing the umbilicus, or who have extensive adhesions either clinically or from a previous operative record. Open laparoscopy at the umbilicus carries the same risk for bowel laceration if the bowel is fused to the umbilical undersurface. One alternate site is in the left ninth intercostal space, anterior axillary line. Adhesions are rare in this area, and the peritoneum is tethered to the undersurface of the ribs, making peritoneal tenting away from the needle unusual. A 5-mm skin incision is made over the lowest intercostal space (the 9th) in the anterior axillary line. The Veress needle is grasped near its tip, like a dart, between thumb and forefinger, while the other index finger spreads this intercostal space. The needle tip is inserted at a right angle to the skin (a 45o angle to the horizontal) between the ninth and tenth ribs. A single pop is felt on penetration of the peritoneum. Pneumoperitoneum to a pressure of 30 mmHg is obtained. A 5 mm trocar is then inserted through this same incision that has migrated downward below the left costal margin because of the pneumoperitoneum. Another alternate entry site is Palmer’s point21 located 3 cm inferior to the subcostal arch in the left medioclavicular line.22 Also, if the uterus is present and thought to be free of adhesions, the surgeon may consider inserting a long Veress needle transvaginally through the uterus.23 When unexpected extensive adhesions are encountered initially surrounding the umbilical puncture, the surgeon should immediately seek a higher site. Thereafter, the adhesions can be freed down to and just beneath the umbilicus, and the surrounding bowel inspected for perforations. The umbilical portal can then be reestablished safely for further work. Other laparoscopic puncture sites are placed as needed, usually lateral to the rectus abdominis muscles and always under direct laparoscopic vision. When the anterior abdominal wall parietal peritoneum is thickened from previous surgery or obesity, the position of these muscles is judged by palpating and depressing the anterior abdominal wall with the back of the scalpel; the wall will appear thicker where rectus muscle is enclosed, and the incision site is made lateral to this area near the anterior superior iliac spine. If an umbilical insertion is possible and extensive adhesions are present close to but below the umbilicus, the operating laparoscope with scissors in the operating channel is the first instrument used. If a left upper quadrant 5 mm incision is necessary, there is usually room for another puncture site to do initial adhesiolysis with scissors. Adhesiolysis is done using scissors alone if possible. Rarely, electrosurgery, CO2 laser, and the Harmonic Scalpel can be are used. In most cases, the initial adhesiolysis is performed with scissors. CO2 laser through the laparoscope on adhesions close to the trocar insertion often results in reflection with loss of precision. Electrosurgery (cutting current) is used only when there is little chance that small bowel is involved in the adhesion. Initially, blunt-tipped scissors in the operating channel of an operating laparoscope are inserted into the interface between the anterior abdominal wall parietal peritoneum and the omentum. Rotating the laparoscope so that the scissors exit at 12 o’clock instead of 3 o’clock facilitates early adhesiolysis. Blunt dissection is performed by inserting the scissors at the interface, opening, and withdrawing them. This maneuver is repeated many times to delineate the thin avascular adhesions from thicker vascular fibrotic attachments that are individually coagulated and divided. Frequently, adhesions can be bluntly divided by grasping the adhesion in the partially closed scissors and gently pushing the tissue. If the plane of adhesions cannot be reached with the tip of the scissors, the abdominal wall can be pressed from above with the finger to make it accessible to the scissors. After initial adhesiolysis, visualization is improved allowing better access and exposure for further adhesiolysis. Secondary trocar sites can now be placed safely. After their insertion, the remainder of the adhesions can now be lysed using scissors with microbipolar backup for rare arteriolar bleeders. Small venule bleeders are left alone. On occasion, in operations in which symptomatic bowel adhesions are not the main problem, an electrosurgical spoon or knife is used to divide the remaining omental adhesions if bowel is not involved. If bowel is involved, dissection proceeds with scissors, without electrosurgery, through the second puncture site, aided by traction on the bowel from an opposite placed puncture site. Rarely, the CO2 laser may be used through the operating channel of the operating laparoscope. When using the CO2 laser for adhesiolysis, aquadissection is performed to distend the adhesive surface with fluid before vaporizing the individual adhesive layers. The suction-irrigator can also be used for suction traction, instead of a laparoscopic Babcock, and as a backstop to prevent thermal damage to other structures. The suction irrigator is also used to clean the laparoscopic optic which is then wiped on the bowel serosa before continuing. Denuded areas of bowel muscularis are repaired transversely using a 3-0 or 4-0 Vicryl seromuscular stitch. Denuded peritoneum is left alone. Minimal oozing should be observed and not desiccated unless this bleeding hinders the next adhesiolysis step or persists towards the end of the operation. With perseverance, all anterior abdominal wall parietal peritoneum adhesions can be released. The Harmonic Scalpel is also useful for adhesiolysis. It bears repeating, the Harmonic Scalpel is not a scissor. This instrument works by coagulating tissue in between the blades and allowing it to be “pressed apart” after full coagulation of the tissue between the active blade and the compressing surface. Tissue is first grasped between the blades of the Harmonic Scalpel, steadily compressed, and the blade is activated allowing the tissue to separate once it is fully coagulated. Any tissue between the blades of the Harmonic Scalpel will be heated and then be allowed to fall apart. This includes all blood vessels up to 3mm in diameter incorporated in the tissue between the blades. As stated before, the Harmonic Scalpel can be used to grasp tissue in a general manner when the blades are not active. However, prior to grasping any tissue, the operator must allow the active blade to cool sufficiently so it will not burn any tissue it may come in contact with. The operator must remember that a Harmonic Scalpel does not replace the scissor, especially when dealing with bowel in the same proximity to an adhesion plane. Harmonic Scalpel comes in 5- and 10-mm size instrumentation with active jaws as well as adaptable adjuncts to the instrument such as a spatula type dissector, “ball” type dissector and hook dissector. All of these type instruments can be used in the same location as you would normally use a monopolar electrode; bear in mind once again that the lateral energy spread is only just 2mm with the Harmonic Scalpel. The rectosigmoid can be adhered to the left pelvic sidewall obscuring visualization of the left adnexa. Dissection starts well out of the pelvis in the left iliac fossa. Scissors are used to develop the space between the sigmoid colon and the psoas muscle to the iliac vessels, and the rectosigmoid reflected toward the midline. Thereafter, with the rectosigmoid placed on traction, rectosigmoid and rectal adhesions to the left pelvic sidewall are divided starting cephalad and continuing caudad. Attention is first directed to complete dissection of the anterior rectum throughout its area of involvement until the loose areolar tissue of the rectovaginal space is reached. Using the rectal probe as a guide, the rectal serosa is opened at its junction with the cul-de-sac lesion. Careful dissection ensues using aquadissection, suction-traction, laser, and scissors until the rectum is completely freed and identifiable below the lesion. Excision of the fibrotic endometriosis is done only after rectal dissection is completed. Deep fibrotic, often nodular, endometriotic lesions are excised from the uterosacral ligaments, the upper posterior vagina, (the location of which is confirmed by the Valtchev retractor or a sponge in the posterior fornix), and the posterior cervix. The dissection on the outside of the vaginal wall proceeds using laser or scissors until soft pliable upper posterior vaginal wall is uncovered. It is frequently difficult to distinguish fibrotic endometriosis from cervix at the cervicovaginal junction and above. Frequent palpation using rectovaginal examinations helps identify occult lesions. When the lesion infiltrates through the vaginal wall, an “en bloc” laparoscopic resection from cul-de-sac to posterior vaginal wall is done, and the vagina is repaired laparoscopically with the pneumoperitoneum maintained with a 30-cc foley balloon in the vagina. Or, more recently, the vaginal lesion is mobilized vaginally, the vagina closed over the mobilized portion, and the en bloc lesion excision completed laparoscopically. Sometimes the fibrotic cul-de-sac lesion encompassing both uterosacral ligament insertions and the intervening posterior cervix-vagina and anterior rectal lesion can be excised as one en bloc specimen. Endometriotic nodules infiltrating the anterior rectal muscularis are excised usually with the surgeon’s or his assistant’s finger in the rectum just beneath the lesion. In some cases, the anterior rectum is reperitonealized by plicating the uterosacral ligaments and lateral rectal peritoneum across the midline. Deep rectal muscularis defects are always closed with suture. Full thickness rectal lesion excisions are suture or staple repaired laparoscopically. When a ureter is close to the lesion, its course in the deep pelvis is traced by opening its overlying peritoneum with scissors or laser. On the left, this often requires scissors reflection of the rectosigmoid, as previously described, starting at the pelvic brim. Bipolar forceps are used to control arterial and venous bleeding. SalpingoOvariolysis26 If fimbrioplasty is to be performed, then hydrodistention is achieved by transcervical injection of dilute indigo carmine through a uterine manipulator. This distends the distal portion of the tube which is stabilized, and the adhesive bands are freed using scissors, laser or micropoint electrosurgery. If necessary, the fimbriated end can be progressively dilated using 3 mm alligator-type forceps. The closed forceps are placed through the aperture, opened, and removed. This is repeated one or more times. If the opening does not remain everted on its own, the intussusception salpingostomy method of McComb27 is used to avoid thermal damage to the ciliated tubal epithelium from CO2 laser or electrosurgery. The tip of the aquadissector is inserted approximately 2 cm into the newly opened tube, suction applied, and the tube fimbrial edges pulled around the instrument to turn the tube end inside-out. The borders of the incision act as a restrictive collar to maintain the mucosa in this newly everted configuration. In some cases, the ostial margin is sutured to the ampullary serosa with 6-0 The CO2 pneumoperitoneum is displaced with 2 to 5 L of Ringer’s lactate solution, and the peritoneal cavity is vigorously irrigated and suctioned until the effluent is clear of blood products, usually after 10-20 L. Underwater inspection of the pelvis is performed to detect any further bleeding which is controlled using microbipolar irrigating forceps to coagulate through the electrolyte solution. First hemostasis is established with the patient in Trendelenburg position, then per underwater examination with the patient supine and in reverse Trendelenburg, and finally, with all instruments removed, including the uterine manipulator. To visualize the pelvis with the patient supine, the 10-mm straight laparoscope and the actively irrigating aquadissector tip are manipulated together into the deep cul-de-sac beneath floating bowel and omentum. During this copious irrigation procedure, clear fluid is deposited into the pelvis and circulates into the upper abdomen, displacing upper abdominal bloody fluid which is suctioned after flowing back into the pelvis. An “underwater” examination is then performed to observe the completely separated tubes and ovaries and to confirm complete hemostasis. A final copious lavage with Ringer’s lactate solution is undertaken and all clots directly aspirated; at least 2 L of lactated Ringer’s solution are left in the peritoneal cavity to displace CO2 and to prevent fibrin adherences from forming by separating raw operated-upon surfaces during the initial stages of reperitonealization. Displacement of the CO2 with Ringer’s lactate diminishes the frequency and severity of shoulder pain from CO2 insufflation. No other anti-adhesive agents are employed. No drains, antibiotic solutions, or heparin are used. Handoscopy When placing a handoscopy port for adhesiolysis, the operator must first choose a location on the abdominal wall that will allow optimal access to the point where adhesions are greatest. After the hand port location is chosen, a marking pen should be used to outline the area of the abdominal wall where the hand port is to be placed. The area for the incision should be anesthetized with bupivicaine for post operative pain control and an incision should then be made into the skin. The size of the incision should be the same size as the operator’s glove size. After this is completed, a muscle splitting technique should be used to enter the peritoneal cavity just as the operator would in performing an open appendectomy. Once the peritoneal cavity is entered, the hand port can then be placed. All of the hand port apparatus require that any adhesions on the peritoneal side of the incision be lysed prior to inserting the handoscopy device. Additionally, these devices should not be placed over any bony prominences, i.e., iliac crest, or encompassing any bowel in the peritoneal ring surface as to injure any bowel in the abdomen. If the handoscopy port is placed in the upper abdomen, the falciform ligament may require division prior to inserting the ring. Once the handoscopy device is in place the lysis of adhesions can precede in an orderly fashion by identifying the tissue planes by feel with the operator’s fingers and additionally being able to provide appropriate traction and countertraction to allow for a safe adhesiolysis. Incidental enterotomies can be sutured with conventional suture and then tied using one hand knot tying technique with the intra abdominal hand. Should any bowel resections be required the hand port can be used as a mini laparotomy site for extraction of any specimens and for exteriorizing any bowel that may require resection and/or repair. Additionally all handoscopy devices that are placed through the abdominal wall act as a wound protector and may minimize post operative wound infections as well as protect from any potential tumor seeding if the operation is for malignancy. The opening of the Ethicon Lap-DiscTM device is like a camera shutter that can be circumferentially reduced to seal the pneumoperitoneum around any size 5 mm trocar. Once the procedure is completed the hand port device is removed, anterior and posterior rectus sheath muscle fascia are closed with either 0 or 2-0 absorbable suture and the skin is then closed in a subcuticular manner. Additionally, a variety of “pain buster” catheters are now available for insertion into the supra fascia layer of the wound which allows for excellent postoperative analgesia. These help to minimize postoperative narcotic requirements thereby facilitating an earlier return of bowel function and more expedient discharge from the hospital. It has been the author’s personal experience that patients undergoing a handoscopy type of operation parallel their recovery in the same manner as a conventional laparoscopic case with a delay of only one day in recovery. If a bowel resection should be required the patient usually only requires to be NPO overnight and clear liquids may be started on the first postoperative day. The patient is maintained on clear liquids until passing flatus and moving bowels. Most patients are discharged home on the second postoperative day if a bowel resection has been required. In the event that a bowel resection is required, stapling instruments are used routinely for division of the bowel and anastomosis. The mesentery of the bowel can be divided with the use of surgical ties, Harmonic Scalpel, or vascular cartridge stapling devices. Bowel resection is preceded by first identifying the lines of resection, transection of the bowel, the use of stapling devices to transect the bowel proximally and distally, division of the mesentery, followed by re-anastomosis once again using stapling devices and closing the enterotomy required by the tines of the stapling device with an additional stapling device. Any mesentery defect caused by a small bowel resection are closed with a running 0 or 2-0 absorbable suture. Mesenteric defects need not be closed after large bowel resections. An open adhesiolysis is performed in the exact same way as a laparoscopic adhesiolysis. First, all adhesions are taken down from the abdominal wall usually with the Metzenbaum scissors. Second, all loops of bowel are extracted out of the pelvis. Finally, all interloop adhesions are lysed from the ligament of Treitz to the ileo-cecal valve. Any incidental enterotomies should be repaired at the time of discovery to avoid intra peritoneal contamination and development of an infection. Hemostasis must be meticulous during the entire dissection as in a laparoscopic procedure. An abundant use of warm irrigation fluid is used as well. It is extremely important to keep the tissues moist to prevent desiccation from atmospheric air as this can stimulate adhesion reformation. It has been a personal experience that the use of adhesion barriers has been ineffective in open procedures on the bowel and is not indicated. Barrier agents for prevention of adhesion formation are commercially available. The Cochrane Menstrual Disorders and Subfertility Group investigated the effects these agents have on postoperative adhesion formation. The 15 randomized controlled trials comprised laparoscopic and laparotomic surgical techniques. Results of the investigation were as follows: oxidized regenerated cellulose (Interceed: Johnson & Johnson Medical, Somerville, NJ) reduces the incidence of adhesion formation and re-formation at laparoscopy and laparotomy in the pelvis; polytetrafluoroethylene (GoreTex: W.L. Gore & Associates, Flagstaff, AZ) appears to be superior to Interceed in preventing adhesion formation in the pelvis but is limited by the need for suturing and later removal; Seprafilm (Genzyme, Cambridge, MA) does not appear to be effective in preventing adhesion formation.32 If Interceed is to be used for prevention of adhesion formation, the intrapelvic fluid should be completely aspirated. A piece of Interceed large enough to cover the at-risk area is placed and moistened with a small volume of irrigant. Complete hemostasis must be achieved prior to placing the material. If hemostasis has not been achieved, the Interceed will turn brown or black and must be replaced as this may actually increase adhesion formation.33 Animal studies and clinical trials of a gel form of modified hyaluronic acid, a naturally occurring glycosaminoglycan, show evidence for reducing de novo adhesion formation.34 Intergel (Gynecare, Johnson & Johnson Inc., Somerville, NJ) is commercially available for open surgery use. The ideal barrier material should be easy to apply, both in open and laparoscopic surgeries. Additionally, it should be nonreactive, persist during the critical wound reepithelization period, stay in place on the target tissue for several days, and eventually be resorbed following peritoneal healing A new product, currently undergoing clinical trials, SprayGel (Confluent Surgical, |