FALSAFAH HIDUP

Hidup adalah kegelapan jika tanpa hasrat dan keinginan. Dan semua hasrat -keinginan adalah buta, jika tidak disertai pengetahuan . Dan pengetahuan adalah hampa jika tidak diikuti pelajaran. Dan setiap pelajaran akan sia-sia jika tidak disertai cinta

Sabtu, 30 Agustus 2008

INDUKSI OVULASI

Hormon-hormon Reproduksi
Siklus reproduksi wanita normal pada prinsipnya dikontrol oleh hormon yang dikeluarkan oleh sejumlah organ di badan. Di dasar otak, kelenjar hypothalamus menghasilkan hormon pelepas gonadotropin (GnRH). Hormon ini merangsang kelenjar lain yang disebut hipofise yang bertempat sedikit di bawah hypothalamus. Hipofise menghasilkan 2 hormon penting yang terlibat dalam reproduksi – Folicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH). Kedua hormon ini memiliki efek langsung pada indung telur selama siklus menstruasi. Jumlah FSH dan LH yang dikeluarkan dan fungsinya berubah sejalan dengan siklus menstruasi.
FSH merangsang tumbuhnya kantong-kantong kecil dalam indung telur yang disebut folikel. Masing-masing folikel mengandung sel telur dan menghasilkan hormon lain. LH membantu FSH merangsang produksi hormon-hormon ini, baik sebelum maupun sesudah ovulasi.
Kira-kira dipertengahan siklus menstruasi, terjadi kenaikan mendadak kadar LH dan FSH yang menyebabkan pecahnya folikel yang dominan, dan dikeluarkannya sel telur dari dalam folikel. Saat pertengahan siklus LH menjadi hormon yang terpenting karena memungkinkan telur menjadi matang dan siap untuk dibuahi spermatozoa.

Indung Telur
Wanita memiliki 2 indung telur yang terletak di dalam panggul pada sisi kanan dan kiri rahim. Fungsi utamanya adalah menghasilkan telur dan hormon. Saat lahir, indung telur berisi ribuan telur, masing-masing dikelilingi oleh sel-sel yang berkembang menjadi kantongan berisi cairan (folikel). Setiap bulannya, pada wanita dengan siklus menstruasi yang normal, satu dari folikel-folikel ini akan tumbuh dan berkembang sampai mencapai diameter 20 mm dan akan mengeluarkan satu sel telur (ovulasi), yang akan menuju saluran telur. Di saluran telur terjadi pembuahan dan embrio akan melanjutkan perjalanan menuju ke rahim baru terjadinya kehamilan. Bila tidak ada telur yang dibuahi, rahim akan mengalami menstruasi 14 hari setelah ovulasi.
Indung telur juga menghasilkan hormon, yang terpenting adalah estrogen dan progesteron. Estrogen membantu perkembangan folikel dan timbulnya lapisan dalam rahim (endometrium), sementara progesteron, yang dikeluarkan setelah ovulasi, sangat penting dalam menyiapkan rahim untuk terjadinya kehamilan.

Infertilitas
Diperkirakan satu dari sepuluh pasutri sulit mendapatkan keturunan. Hampir semua dapat dibantu dengan penanganan medis, hanya sebagian kecil yang memang betul-betul tidak bisa tertangani. Penyebabnya dapat ditemukan pada istri (misalnya tertutupnya saluran telur) atau pada pihak suami (misalnya jumlah sperma yang rendah). Pada keadaan tertentu secara medis tidak ditemukan penyebab yang jelas yang disebut ‘unexplained infertility’.
Akan tetapi, salah satu penyebab yang sering terjadi pada wanita adalah gangguan hormonal yang sering dapat mengganggu, bahkan menghentikan siklus reproduksi. Sebagai contoh, keluaran hormon reproduksi dari hipofise atau hipothalamus tidak cukup atau tidak seimbang, folikel tidak dapat berkembang dengan baik dan tidak terjadi ovulasi. Keadaan ini disebut infertilitas ‘anovulatory’. Penyebab terbanyak adalah sindroma ovarium polikistik, dimana terjadi gangguan hormon ovarium.
Yang lebih jarang terjadi, adalah kelainan hipotalamus atau hipofise dimana tidak dihasilkan gonadotropin (atau GnRH) sama sekali; pada wanita dengan kelainan ini tidak mengalami perkembangan folikel yang diperlukan untuk ovulasi. Pada keadaan ini ovulasi dapat diinduksi dengan obat-obat penyubur, yang dapat diberikan dalam bentuk tablet atau sebagai suntikan gonadotropin.
Jadi induksi ovulasi merupakan satu diantara sejumlah penanganan infertilitas. Prinsipnya adalah merangsang indung telur untuk menghasilkan satu folikel yang matang, menimbulkan ovulasi dan meningkatkan terjadinya fertilisasi / pembuahan lewat senggama alamiah.

Induksi Ovulasi
Siapa yang memerlukan ?
1. Wanita dengan gangguan hormonal.
FSH dan LH yang tidak cukup atau tidak seimbang, mengakibatkan telur tidak dihasilkan setiap bulannya dan gagal untuk berovulasi. Keadaan ini bisa disertai oleh haid yang tidak teratur atau bukti tidak haid sama sekali. Kelainan hormonal yang lebih jarang adalah tidak diproduksinya gonadotropin sama sekali yang disebut hipogonadotropik-hipogonadism (yang penyebabnya sering belum diketahui). Termasuk dalam kategori ini adalah wanita yang sangat kurus, pelari maraton.
2. Wanita dengan sindrom ovarium polikistik.
Pada keadaan ini tidak terjadi ovulasi, obat penyubur (tablet, suntikan) biasanya dapat memecahkan masalah tersebut.

Obat-obat Penyubur
Klomifen sitrat
Merupakan obat yang paling banyak digunakan untuk induksi ovulasi. Di minum selama lima hari mulai hari 2-3 haid. Hasilnya 4 dari 5 wanita akan berovulasi, tetapi hanya satu dari tiga yang berhasil hamil. Dosis dimulai dengan 50 mg, yang dapat ditingkatkan sampai 100-150 mg. Klomifen dapat menyebabkan penebalan leher mulut rahim, sehingga suatu uji pasca senggama mungkin diperlukan untuk mengetahui keadaan sperma di saluran reproduksi. Efek sampingnya adalah gangguan perut, semburan panas, rasa kembung, sakit kepala, depresi dan nyeri payudara, risiko kehamilan ganda sedikit meningkat, tetapi kelainan cacat bawaan tidak terjadi.

Gonadotropin
Biasanya digunakan setelah kegagalan klomifen sitrat, tetapi apabila hormon hipofise dan hypothalamus abnormal maka gonadotropin menjadi pilihan utama. Pemberian gonadotropin dimulai pada hari-hari awal haid. Jika wanita tidak haid maka dilakukan pemeriksaan transvaginal USG dan haid ditimbulkan dengan pemberian progesteron. Dosis gonadotropin bervariasi tergantung pada respon indung telur. Injeksi dapat diberikan setiap hari atau setiap dua hari.

Monitoring
Induksi ovulasi meningkatkan wanita dengan gangguan hormonal berovulasi secara normal sehingga memiliki kesempatan untuk hamil secara normal. Yang penting bagi keberhasilan adalah senggama dijadwalkan di seputar saat ovulasi. Monitoring respon pengobatan menjadi penting untuk memaksimalkan kesempatan hamil dan meminimalkan risiko yang terjadi. Monitoring yang hati-hati dapat mencegah berkembangnya telur menjadi banyak, sehingga mencegah kehamilan ganda dan sindroma ovarian hiperstimulasi. Bila kedua hal ini terjadi maka siklus perangsangan dibatalkan. Cara terbaik menilai respon ovarium adalah dengan ultrasonografi.


Dikenal dua macam pemeriksaan yaitu transabdominal yang memerlukan penuhnya kandung kemih dan transvaginal. Pemeriksaan akan dapat melihat berapa folikel yang berkembang di masing-masing indung telur. Masing-masing folikel mengandung satu sel telur, dan dikatakan siap untuk ovulasi bila diameter mencapai sekurangnya 17 mm. Lapisan dalam rahim (endometrium) menebal, dalam persiapan menerima embrio, ketebalan endometrium harus sekurang-kurangnya 8 mm pada seputar ovulasi.


Beberapa klinik juga melakukan pemeriksaan hormon, yang paling penting adalah kadar estrogen, karena menunjukan bagaimana perkembangan folikel. Pada pertengahan siklus normal, hipofise mengeluarkan lonjakan LH yang mendorong folikel dominan melepas telurnya. Proses alamiah ini ditiru pada induksi ovulasi dengan menyuntikan human Chorionic Gonadotrpin (hCG), suntikan dilakukan bila indung telur sudah berisi satu atau lebih folikel yang matang. HCG memerlukan waktu 36-48 jam untuk bekerja, jadi bila diberikan pada pagi hari, ovulasi diharapkan terjadi pada malam hari berikutnya. Senggama terbaik dilakukan pada malam harinya atau pada malam keesokan harinya. Hubungan seksual 2-3 kali seminggu baik bagi tersedianya spermatozoa untuk membuahi sel telur saat dilepaskan waktu ovulasi. Puasa berhubungan seksual terlalu lama tampaknya dapat memperburuk fungsi sperma. Beberapa pasangan merasakan basis monitoring yang intensif menghilangkan spontanitas dalam kehidupan seksual mereka. Masa istirahat 2-3 bulan mungkin dapat menghilangkan tekanan ini dan meningkatkan hubungan seksual yang lebih relax.


LANGKAH-LANGKAH INDUKSI OVULASI
1. Pengobatan menghasilkan satu telur yang matang : klomifensitrat atau gonadotropin.
2. Monitoring penanganan, untuk mengukur perkembangan folikel, menentukan dosis, dan mencegah efek samping:
dengan transvaginal ultrasound.
kadang mengukur kadar estrogen darah.
3. Pemberian hCG, saat folikel mencapai diameter sekurangnnya 17 mm.
hCG mendorong pematangan folikel dan keluarnya telur dari folikel dominan.
Bila berkembang 3 atau lebih folikel dengan diameter > 15 mm, hCG dibatalkan untuk mencegah efek samping yang serius seperti OHSS dan kehamilan ganda.
4. Senggama atau IIU dijadwalkan 36-48 jam setelah hCG.
5. Penentuan kehamilan / monitoring

Efek samping
Efek samping klomifen sitrat dan gonadotropin jarang terjadi dan biasanya berlangsung singkat. Klomifen aman dipakai jangka pendek dan dengan monitoring yang ketat.
Efek samping yang perlu diatasi adalah :
Ovarian Hyperstimulation Syndrome.
Terlalu banyaknya folikel yang berkembang menyebabkan distensi perut, tidak nyamanan, mual dan kadang kesulitan bernafas. Mungkin diperlukan perawatan di rumah sakit.
Kehamilan ganda
Ultarsonografi dapat melihat jika lebih dari 3 folikel tumbuh menjadi matang. Jika hal ini terjadi, penanganan dihentikan, karena kemungkinan terjadinya kehamilan ganda sangat besar.



Keberhasilan
Keberhasilan bergantung kepada umur istri, penyebab infertilitas dan adanya masalah lain (seperti jumlah sperma yang kurang), angka keberhasilan per siklus adalah 15-25%. Jadi sering diperlukan lebih dari satu siklus baru terjadinya kehamilan.
Era Baru Pengobatan Infertilitas dengan Gonal-F (Follitropin Alpha/FSH Recombinant)
HOTMA P. SILITONGA Product Department PT. Dipa Pharmalab Intersain Divisi Serono
Pendahuluan
Gonal-F (Follitropin Alpha) adalah FSH recombinant pertama yang dibuat di dunia. FSH berguna untuk pertumbuhan dan perkembangan folikel ovarium pada wanita, juga untuk spermatogenesis pada pria. Evolusi produk FSH sudah berlangsung selama empat dekade. Sebelum era FSH recombinant, FSH diperoleh dari urin wanita menopause. Tahun 1949, Donini dan Montezolo mempublikasikan temuan mereka, yaitu human menopausal gonadotropin (HMG) yang kala itu disebut faktor A dan faktor B. Oleh Serono, HMG dipasarkan dengan merek dagang Pergonal.
Pada 1962, Lunenfeld dan kawan-kawan melaporkan 3 kehamilan yang terjadi setelah mendapatkan terapi Pergonal (HMG) dan HCG. Bayi pertama yang lahir adalah bayi perempuan dengan berat 3500 gram. HMG mengandung FSH dan LH dengan perbandingan 1 : 1, juga protein urin dalam jumlah yang besar. Protein urin mempunyai potensi untuk menimbulkan alergi1,2.
Pada 1983, Metrodin (FSH urin) diperkenalkan. Sediaan ini hampir tidak mengandung LH lagi, namun kadar FSH yang dikandung hanya 5%. Sementara, protein urin masih sekitar 95%.
Usaha mempublikasi tetap dilanjutkan dan pada 1993 Metrodin-HP (FSH highly purified) diperkenalkan. Metrodin-HP jauh lebih baik dari Metrodin dan Pergonal karena sudah lebih murni (FSH > 95%) dan protein urin jumlahnya sangat sedikit (< 5%). Walaupun demikian, sumber Metrodin-HP masih dari urin wanita menopause.
Permintaan terhadap FSH meningkat terus, sementara untuk mendapatkan FSH eksogen dalam jumlah yang banyak tidak mudah, karena urin yang diperlukan harus urin yang berkualitas baik. Sebagai gambaran, pada 1997 diperlukan 64 juta liter urin. Karena itu, riset untuk memperoleh FSH terus dikembangkan sehingga tidak tergantung pada urin wanita menopause.
Pilihan utama adalah melalui bioteknologi. Pada awal 90-an, FSH berhasil dibuat melalui rekayasa genetika dan bioteknologi. Serono memasarkan FSH recombinant tersebut dengan nama dagang Gonal-F. Gonal-F telah disahkan oleh European Medicines Evaluation Agency (EMEA) dan FDA untuk dipasarkan3,4.
Pembuatan FSH Manusia dengan Teknologi DNA Recombinant
Beberapa produk recombinant sudah tersedia dan banyak digunakan saat ini, misalnya Saizen (recombinant human growth hormone), Rebif (Interferon Beta 2 a), Ovidrel (Recombinant KCG), dan Luveris (r-hLH). Kelihatannya, produk recombinant menjadi pilihan utama saat ini dan di masa yang akan datang. Hal ini didukung oleh kemajuan bioteknologi yang sangat cepat.
Pada awalnya, banyak kendala yang dihadapi saat membuat FSH recombinant karena struktur FSH yang sangat kompleks. Namun, hal ini dapat diatasi dengan menggunakan sel mamalia yang mampu memproduksi FSH recombinant yang identik dengan FSH endogen5,6.
Diketahui bahwa FSH manusia merupakan glikoprotein yang terdiri dari sub-unit alpha dan sub-unit beta yang masing-masing dikode oleh gen yang berbeda. Gen pengkode sub-unit alpha dan gen pengkode sub-unit beta terlebih dahulu diidentifikasi, kemudian diisolasi dengan memotongnya dari rantai DNA dengan bantuan enzim. Masing-masing gen yang telah diisolasi tersebut kemudian diselipkan ke dalam potongan DNA yang lebih besar yang disebut vektor. Vektor pembawa gen sub-unit alpha dan vektor pembawa gen subunit beta kemudian ditransfeksikan ke dalam sel pejamu, yaitu China hamster ovary (CHO) yang merupakan sel mamalia. Sel mamalia dipilih karena mampu untuk mengadakan glikosilasi protein subunit FSH yang kompleks, sedangkan sel bakteri (E. coli) tidak mampu melakukannya. Selanjutnya, sel CHO tersebut akan mensintesis FSH tersebut5,6.
Farmakologi R-FSH
R-FSH terdiri dari sub-unit alpha dan sub-unit beta yang berbeda satu sama lain. Sub-unit alpha disusun oleh 92 asam amino sedangkan sub-unit beta disusun oleh 111 asam amino.
Asam amino tersebut identik dengan FSH alami yang dihasilkan oleh sel hipofisis anterior. R-FSH memiliki aktivitas spesifik 10000 IU/mg protein. Kemurniannya 99,9% dan tidak mengandung LH7.
Berikut ini adalah perbandingan Physico-kimia antar sediaan FSH.
Berbeda dari produk lainnya, sumber material Gonal-F tidak berasal dari urin wanita menopause, tetapi diproduksi oleh sel CHO melalui teknologi DNA recombinant. Dengan demikian, tidak ada kekuatiran terhadap kekurangan pasokan Gonal-F. Di samping itu, Gonal F lebih aman dan nyaman untuk pasien karena tidak mengandung protein urin yang dapat menyebabkan reaksi hipersensitif. Beberapa laporan menunjukkan bahwa HMG dan FSH urin dapat menyebabkan reaksi hipersensitif1,2. Keuntungan lainnya adalah Gonal-F tidak mengandung LH. Kadar LH yang terlalu banyak pada fase folikuler dan periovulasi dapat merusak kualitas oosit8,9,10,11.
Aktivitas spesifik Gonal-F sangat tinggi, yaitu 10000 IU/mg protein, sekitar 166 kali lipat dari HMG. Kemurnian dari Gonal-F yang mencapai >99% membuat Gonal-F dapat disuntikkan secara subkutan dan ditoleransi dengan baik oleh pasien. Di samping itu, dengan puritas yang sangat tinggi, variasi antar ampul per ampul hampir tidak ada lagi7.
Farmakokinetik
Farmakokinetik FSH eksogen tidak berbeda dengan FSH alami. Masa paruh Gonal-F berkisar 24 jam dan bioavailibilitas berkisar 70% setelah pemberian subkutan1,2.
Indikasi
Induksi ovulasi pada wanita yang tidak responsif terhadap Clomiphene citrate (termasuk penderita PCOD).
Menstimulasi perkembangan folikel pada pasien yang menjalani program IVF atau program teknik bantu reproduksi lainnya.
Dosis dan Cara Pemberian
Induksi ovulasi pada penderita anovulasi, termasuk PCOD
Tujuan pengobatan dengan Gonal-F adalah untuk merangsang pertumbuhan folikel tunggal dan diharapkan terjadi ovulasi setelah pemberian profasi (HCG). Dosis yang lazim digunakan adalah 75--150 IU/hari, dinaikkan 37,5 IU atau 75 IU pada interval 7--14 hari bila tidak ada respons dari ovarium. Dosis awal FSH eksogen yang direkomendasikan oleh American Society of Reproduction untuk pasien yang pertama kali mengikuti induksi ovulasi adalah 75 IU. Dosis maksimal harian 225 IU. Siklus pengobatan dibatalkan jika tidak diperoleh respons yang adekuat. Jika respons yang optimal sudah didapatkan, injeksi tunggal profasi (HCG) sebesar 5000--10000 IU diberikan 24--48 jam setelah pemberian Gonal-F terakhir. Penderita diminta untuk mengadakan koitus 1 hari setelah pemberian profasi. Jika respons ovarium yang didapatkan sangat berlebih, pengobatan dengan Gonal-F harus dihentikan dan pemberian HCG ditunda. Dosis Gonal-F yang dianjurkan untuk pengobatan pada siklus berikutnya adalah dengan dosis yang lebih rendah. Berikut ini adalah contoh protokol yang sering digunakan:
Keterangan:
Dosis awal Gonal-F 75 IU.
Dosis dinaikkan 37,5 atau 75 IU dalam interval 7 atau 14 hari.
Dosis diteruskan sampai folikel dominan > 18 mm dan ketebalan endometrium > 8 mm.
Profasi 5000 IU atau 10000 IU disuntikkan 24--48 jam setelah injeksi Gonal-F terakhir.
Dosis maksimum harian FSH adalah 225 IU.
Koitus pada hari pemberian profasi dan hari berikutnya.
Jika respons berlebih, pengobatan dihentikan dan HCG ditunda. Dosis yang lebih rendah direkomendasikan untuk pengobatan pada siklus berikutnya.
Program IVF atau program teknik bantu reproduksi lainnya
Down regulation dengan Gonadotrophin - releasing hormone (GnRH agonist) sering dilakukan untuk menekan lonjakan LH endogen, juga untuk mengontrol kadar LH. Pengobatan dengan Gonal-F biasanya dimulai 2 minggu setelah awal pemberian GNRH agonist. Gonal-F dan GNRH dilanjutkan sampai respons folikel yang adekuat diperoleh.
Dosis umum biasanya 150--225/hari mulai hari ke-2 atau ke-3 siklus haid. Dosis disesuaikan dengan respons ovarium pasien dan dosis maksimum 450 IU. Setelah respons folikel yang adekuat diperoleh, profasi (HCG) 5000--10000 IU diberikan dalam 24--48 jam setelah injeksi Gonal-F yang terakhir. Sekarang ini, regimen stimulasi ovarium yang sering digunakan pada IVF adalah Long protocol, di mana down regulation dilakukan terlebih dahulu.
Berikut ini adalah contoh long protocol yang sering digunakan:
Keterangan:
Down regulasi dengan GnRH agonist mulai hari ke-21 siklus haid sampai hari terakhir pemberian Gonal-F.
Gonal-F diberikan mulai hari ke-3 menstruasi dengan dosis 150 IU.
Satu minggu kemudian, respons ovarium dinilai untuk penyesuaian dosis.
Bila terjadi respons ovarium, dosis dipertahankan, tetapi bila respons ovarium kurang, dosis dinaikkan 75 IU.
Kenaikkan dosis dilakukan dalam interval 7 hari.
Down regulasi sampai tidak ada bukti aktivitas ovarium, ketebalan endometrium < 7 mm. Serum E2 ≤ 0,2 nmol/l.
Gonal-F diteruskan sampai folikel dominan > 18 mm dan 2 folikel lain 16 mm, serta ketebalan endometrium > 8 mm.
Injeksi profasi dilakukan 24--48 jam setelah injeksi Gonal-F terakhir.
Kontra Indikasi
Kehamilan, perdarahan kandungan, ca ovarium, dan ca payudara.
Efek Samping
Efek samping yang paling berat yang dihubungkan dengan penggunaan gonadotropin pada stimulasi ovarium adalah timbulnya Ovarium Hiperstimulation Syndrome (OHSS). Karena itu, harus dilakukan monitor pengobatan secara ketat. Angka OHSS yang terjadi pada pasien yang diterapi dengan Gonal-F tidak berbeda dari pasien yang diterapi dengan FSH urin lainnya. Frydman dkk., menunjukkan bahwa peningkatan efektivitas Gonal-F tidak diiringi oleh peningkatan OHSS.
Efek samping lain berupa adanya sakit kepala, mual, dan muntah yang mungkin disebabkan oleh perubahan kadar estrogen yang beredar dalam tubuh sebagai konsekuensi pengobatan dengan FSH.
Toleransi dan Keamanan
Gonal-F aman untuk digunakan karena lebih murni, tidak ada lagi protein urin yang mempunyai potensi menimbulkan reaksi alergi yang tidak diinginkan. Karena puritasnya yang tinggi, Gonal-F dapat diinjeksikan secara subkutan. Sergeant dkk. melakukan studi yang menyelidiki perbedaan kemudahan penggunaan dan toleransi berbagai jenis gonadotropin melalui analisis pertanyaan. Dari tabel 4 terlihat bahwa penderita yang diobati dengan Gonal-F mengeluh rasa sakit yang lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok yang diterapi dengan produk gonadotropin lainnya.
Studi Klinis Gonal-F
1.Induksi Ovulasi penderita Infertilitas WHO grup 2
Efektivitas Gonal-F
Gonal-F telah digunakan untuk menginduksi perkembangan folikel pada pasien WHO grup 2 yang ditandai gangguan keseimbangan gonadotropin dan produksi estrogen dengan kadar prolaktin normal. Karena penderita ini memiliki kadar LH normal atau LH
yang meningkat maka penambahan kadar LH tidak diperlukan lagi.
Homnes dkk., melaporkan bahwa Gonal-F efektif merangsang pertumbuhan folikel dan berhasil menginduksi ovulasi serta kehamilan setelah dikombinasikan dengan profasi (HCG)13.
Temuan ini kemudian dikonfirmasikan oleh studi multi nasional prospektif teracak ganda yang membandingkan efikasi Gonal-F dengan FSH urin pada lebih dari 200 pasien WHO group 2. Studi tersebut menggunakan Chronic Low Dose Protocol di mana dosis awal 75 IU per hari selama 14 hari, kemudian dinaikkan 50% setiap 7 hari bila tidak ada respons folikel. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa dengan penggunaan Gonal-F, angka ovulasi yang terjadi lebih dari 60%14.
Balasch dkk. juga melaporkan bahwa efikasi Gonal-F lebih baik dari Metrodin Hp untuk menginduksi ovulasi pada pasien anovulasi klasifikasi WHO group 2. Hal ini terlihat dari perkembangan folikel dan kadar hormonal yang lebih baik15.
Conventional Versus Chronic Low Dose Pprotocol
Studi banding yang menggunakan Gonal-F dan FSH urin untuk ovulasi induksi group 2 WHO menunjukkan bahwa chronic low dose protocol lebih baik dari conventional protocol16. Studi tersebut menunjukkan bahwa chronic low dose protocol lebih aman karena insiden Sindrom Hiperstimulasi Ovarium (OHSS) lebih rendah dan pengontrolan perkembangan folikel yang lebih baik, tanpa mengurangi angka kehamilan.
Hedon dkk. juga melaporkan temuan yang sama bahwa chronic low dose protocol lebih baik dari conventional protocol17. Hal ini terlihat dari perkembangan monofolikular yang lebih baik dan angka kehamilan ganda yang lebih rendah.
Kesimpulan
Gonal-F (Follitropin alpha) adalah FSH recombinant pertama di dunia yang dibuat dengan menggunakan bioteknologi tinggi. Gonal-F merupakan sediaan FSH yang sangat murni dan tidak mengandung protein urin serta LH. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Gonal-F lebih efektif untuk menstimulasi perkembangan folikel.
Gonal-F ditoleransi dengan baik, karena itu aman untuk digunakan oleh pasien.
Daftar Pustaka
Harika G, Gabriel R, Quereux C, et al, Hypersensitization to human menopausal gonadotrophins with anaphylactic shock syndrome during a fifth in vitro fertilization cycle. J Assist Reprod Genet 1994; 11(l):51-3
Li TC, Hindle JE. Adverse local reaction to intramuscular injections of urinary-derived gonadotrophins. Hum Reprod 1993; 8(11): 1835-6.
Recombinant FSH approved in the US. Scrip 1997 Oct 7; 2273:21.
RPR's Taxotere-2nd EU approval. Scrip 1997 Dee 5; 2083:18.
Howles CM. III. Expression of human FSH (Gonal-F) by recombinant DNA tecimology. Hum Reprod Update 1996; 2(2 genetic engineering of human FSH (Gonal-F): 183-91.
Recombinant human FSH product development group. Recombinant follicle stimulating hormone: development of the first biotechnology product for the treatment of infertility. Hum. Reprod. Update 1998; 6:862-881.
Loumaye, E., Campbell, R., and Salat-Baroux, J. Human follicle stimulating hormone produced by recombinant DNA technology: a review for clinicians. Hum. Reprod. Update 1995:1:188-189.
Stanger, J. and Yovich, J.J. Reduced in vitro fertilization of human oocytes form patients with raised basal luteinizing hormone levels during the follicular phase. BR. J. Obstet. Gynaecol. 1985, 92, 385-393.
Regan, L., Owen, E.J. and Jacobs, H.S. Hypersecretion of luteinizing hormone, infertility and miscarriage. Lancet 1990, 336, 1141-1144.
Homburg, R., Armar, N.A., Eshel, Eshel, A. et al. Influence of serum luteinizing hormone concentrations on ovulation, conception, and early pregnancy loss in polycystic ovary syndrome. Br. Med. J. 1998, 297, 1024-1026.
Howles, C., Macnamee, M.C. and Edwards, R.G. Foilicular cycles after human in vitro fertilization: endocrine correlates. Hum. Reprod. 1987. 2, 17-21.
Goa K. and WagstaffAJ. Follitropin alpha in infertility: A review Bio Drugs 1998; 9:253-260.
Homnes P, Giroud D, Howles CM, Loumaye E,. Recombinant human follicle stimulating hormone treatment leads to normal follicular growth, estradiol secretion and pregnancy in a World Health Organization group II anovulatory women. Fertil steril 1993; 60:724-726.
Serono study 5642, data on file.
Balascli J. Follicular development and hormonal levels following higlily purified or recombinant follicle stimulating hormone administration in ovulatory women and WHO group II anovulatory infertile patients. J assited reproduction and genetics 1998; 15(9): 552-559.
Homburg R, Levy T., Ben-Rafael Z. A comparative prospective study of conventional regimen with chronic low-dose administration of follicle stimulating hormone for anovulatory associated with polycystic ovary syndrome. Fertil Steril 1995.63(4):729-733.
Hedon,, B., Hughes, J.N., Emperaire, J.C Chabaud JJ, Barbereau D, Boujenah A, Howles'C, Truong F.et al. A comparative prospective study of a chronic low dose versus a conventional ovulation stimulation regimen using recombinant human FSH (Gonal-F) inanovulatory infertile women. Hum. Reprod. 1998; 13(10):2688-2692.
Fernandez-Moriz J and Guerra-Flecha JM. Comparison of ovulation stimulation with highly purified FSH or recombinant FSH (Gonal-F) in patients group II of the WHO'S classification. ASRM 1998.
Catena EMR, Naranjo de la Puerta F, Diaz-Garcia Donate JA et al. FSH Urinaria alternate purificada y FSH humana recombinate: comparacion de las fases de estimulacion en placientes sometidas a IAC (in Spanish). Presented at the 5th World Congress of Obstetric and Gynaecology, Barcelona, 1997. Abstract
Bergh et al. Gonal-F vs. Metrodin HP: results of a randomized comparative study in women undergoing ART. Hum Reprod 1997; 12(10): 2133-2139.
Khalaf et al. Comparative clinical study of r-hFSH and u-FSH. Fertil Steril 1998; 70(3:1): AP-955.
Frydman R., Howles CM., Truong F. A double-blind, randomized study to compare recombinant human follicle stimulating hormone (FSH; Gonal-F) with highly purified urinary FSH (Metrodin HP) in women undergoing assisted reproductive techniques including intracytoplasmic sperm injection. The French multicentre trialists. Hum. Reprod. 2000; 15:520-5.
Study 9075/9139 (Serono study, data on file).
Alvino H, Norman R and Matthews C. Recombinant human follicle stimulating hormone (r-hFSH, Gonal-F) for in vitro fertilization. A prospective randomized clinical trial of r-hFSH versus urinary human FSH (u-hFSH, Metrodin) (submitted for publication, June 1999).
Daya S, Gunby J. Recombinant versus urinary follicle-stimulating hormone for ovarian stimulation in assisted reproduction. Hum. Reprod. 1999; 14:2207-2215.
Schats R, Sutter PD. Basils et al. Ovarian stimulating during assisted reproduction treatment: a comparison of recombinant and highly purified urinary FSH. Hum. Reprod. 2000; 15:1691-1697
Templeton A. Cooke I and O'Brien PMS. Recommendations arising from the 35th RCOG study group. Evidence-based fertility treatment, chapter 31. The Royal College of Obstetricians and Gynaecologist (RCOG) press.
Induction of ovarian follicle development and ovulation with exogenous gonadotrophins. ASRM practice committee report - A Technical Bulletin, June 1998.
Bilan general FIVNAT 1997, French IVF registry. Part of FIVNAT 1997 report. Contracept fertile sex 1998; 26(7-8): 463-465.
Beberapa Hal yang Mempengaruhi Keberhasilan Infertilisasi In Vitro
ANDI DARMA PUTRA
Pendahuluan
Infertilitas adalah masalah pasangan yang sejak dalu telah banyak diteliti cara-cara mengatasinya. Pada kenyataannya, masalah pada pria dan pada wanita sama besarnya, yakni masing-masing 50%. Berbagai cara telah dilakukan untuk mengatasi problem infertilitas, mulai dengan cara kuno seperti menggunakan bulu, cara sederhana dengan mengatur pola hubungan seksual pada masa subur, hingga cara moderen seperti pembuahan secara in vitro. Ditemukannya obat-obat pemicu ovulasi pada 1958 telah mengubah prognosis infertilitas menjadi lebih baik. Tetapi, bersamaan dengan hal tersebut, timbul masalah baru seperti efek samping yang tidak pasti dan angka keberhasilan yang masih kecil. Hingga kini belum ada terapi definitif dan cara yang menjamin keberhasilan fertilisasi.
Telah dilakukan berbagai penelitian tentang hal-hal yang mempengaruhi infertilitas pada seorang wanita, di antaranya pengaruh umur, berat badan, kadar prolaktin, endometriosis, serta kadar gonadotropin endogen dan eksogen. Walaupun demikian, angka keberhasilan program fertilisasi in vitro belum sesuai dengan harapan dan hingga saat ini masih dicari obat-obat baru yang dapat meningkatkan keberhasilan tersebut.
Hormon pada Suntikan Menstruasi
Siklus menstruasi dimulai dari hipotalamus, sebuah kelenjar yang berada pada otak yang melepaskan gonadotropin releasing hormone (GnRH). Fungsi utama GnRH adalah melakukan stimulasi pada kelenjar hipofisis untuk melepaskan folliclle-stimulating hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH). FSH dan LH adalah hormon yang paling bertanggung jawab terhadap siklus reproduksi normal. FSH menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan folikel pada ovarium selama 10--14 hari pertama dari siklus. Sekitar hari ke-12 sampai hari ke-16, kelenjar hipofisis meningkatkan produksi LH. Keadaan ini yang sering disebut sebagai LH surge. Lecut LH menyebabkan folikel mengandung sel telur yang matang, kemudian pecah dan dilepaskan sebagai ovulasi. Saat di sekitar ovulasi adalah waktu yang paling baik untuk fertilisasi. Periode ini berlangsung sekitar 2--4 hari. Pada suatu keadaan karena suatu sebab tertentu, ovulasi tidak terjadi dan untuk itu dibutuhkan zat yang dapat memicu terjadinya ovulasi dari luar. Hingga saat ini, satu-satunya zat pemicu ovulasi yang telah beredar luas adalah hCG, sementara rh-LH masih dalam penelitian clinical trial tahap III.
Glikopeptida seperti FSH, LH, dan hCG bukanlah protein tunggal, tetapi merupakan protein yang terbentuk secara heterogen dengan aktivitas imunologik dan biologik yang bervariasi. Variasi tersebut terbentuk dari perbedaan promotor DNA, rangkaian RNA, dan rantai karbohidrat. Perbedaan itu mengakibatkan perbedaan struktur, klirens metabolik, efek, dan aktivitas biologik.
FSH, LH, TSH, dan hCG dibentuk dari dua unit polipeptida yang terglikosilasi, yaitu subunit alfa dan subunit beta. Hormon ini mempuyai rantai a yang sama dan strukturnya identik dengan 92 asam amino2. Sedangkan rantai beta berbeda baik dalam susunan asam amino maupun karbohidratnya. Perbedaan aktivitas biologik ditentukan oleh rantai b.
hCG adalah hormon dengan rantai beta terbesar, mempunyai 145 residu asam amino dan rantai karbohidrat yang besar. Ini adalah bagian yang unik dari sebuah struktur hCG yang memungkinkan diproduksinya antibodi yang sangat spesifik. Terminal karboksil hCG mengandung 4 sisi untuk proses glikosilasi yang lebih besar dari LH, yang membuat hCG mempunyai waktu paruh yang lebih lama dibandingkan LH. Gen DNA hCG dan LH 96% identik. Identiknya hCG inilah yang dipakai sebagai pengganti LH sebagai pencetus terjadinya ovulasi sebelum adanya preparat LH rekombinan. Tetapi, saat ini dengan ditemukannnya LH rekombinan maka mulai diteliti di banyak pusat penelitian karena preparat ini dianggap mempunyai kemampuan yang sama dengan LH endogen dan memberikan hasil yang lebih baik serta efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan hCG.
Penelitian yang dilakukan akhir-akhir ini menunjukkan korelasi yang signifikan antara pemberian injeksi hCG dengan ovarian hyperstimulation syndrome (OHSS). Beberapa faktor yang turut berperan dalam timbulnya OHSS yaitu berat badan yang rendah, tingginya kadar estradiol, jumlah oosit yang dapat diambil, polycystic ovarian syndrome (PCOS)3.
Keberhasilan hamil yang pertama dari teknik fertilisasi in vitro terjadi pada tahun 1978 yang berasal dari sel telur yang didapat dari siklus alami,. Akan tetapi, dalam perkembangan teknik tersebut, angka keberhasilan dari siklus alami sangat rendah. Banyak pusat penelitian kemudian mendapatkan sel telur dari siklus stimulasi ovarium yang terkontrol (controlled ovarian hyperstimulation/ superovulasi). Selain itu, pada siklus alami pemantauan terhadap kejadian lonjakan LH juga harus lebih sering sehingga terdapat kesulitan dalam penjadwalan pengambilan sel telur bagi peserta, pembedah, dan staf laboratorium. Kini, dalam praktiknya, pemberian hCG/LH tidak dilakukan sendiri, tetapi diberikan sebagai suatu protokol yang mengikuti pemberian obat-obatan induksi ovulasi dalam program fertilisasi in vitro.
Umur5,,,,,, berat badan, kadar prolaktin, endometriosis,, PCOS, , dan kadar hormon gonadotropin endogen serta eksogen, adalah faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan program IVF.
Weshoff dkk. mengatakan bahwa terjadi penurunan jumlah folikel secara bermakna sejalan dengan tuanya umur6. Wu dkk mengatakan terjadi peningkatan apoptosis pada wanita tua yang mengakibatkan rendahnya kualitas oosit.7 Hal serupa juga dikemukakan oleh Lau dkk. yang mendapatkan bahwa pada wanita tua terdapat penurunan kesuburan akibat menurunnya kualitas oosit.9
Fauser mendapatkan bahwa terjadi peningkatan androgen pada wanita dengan obesitas yang mengakibatkan tidak terjadinya ovulasi. Pengurangan berat badan merupakan terapi terbaik pada pasien-pasien ini 11.
Penelitian yang dilakukan Leidenberger menduga bahwa kadar prolaktin yang tinggi akan menyebabkan terbentuknya dopamine dalam jumlah besar yang pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya penghambatan LH 12.
Petigrew 1993 melakukan penelitian terhadap pasien yang menderita endometriosis dan didapatkan bahwa secara in vitro terjadi penurunan sel granulosa yang memproduksi estradiol dan progesteron, dan terjadi penurunan kadar LH dalam cairan folikel, serta penurunan puncak LH selama lonjakan preovulatori. Pada pasien dengan endometriosis stadium III-IV didapatkan angka fertilisasi, angka kehamilan yang lebih rendah dibandingkan dengan wanita yang hanya mempunyai masalah pada kedua tubanya14. Hal ini akibat adanya peningkatan apoptosis pada sel granulosa wanita endometriosis sedang dan berat13.
Sindrom hiperandrogenism, insulin resistence, dan achanthosis nigricans (HAIR-AN syndrome) adalah salah satu bentuk manifestasi PCOS16, 15. Pada pasien-pasien ini, pengurangan berat badan dan perangsangan reseptor insulin adalah suatu metode untuk meningkatkan induksi ovulasi16, .
Hasil penelitian yang dilakukan Loumaye dkk. dan Strehler E dkk. mengatakan tidak ada perbedaan yang bermakna angka kehamilan antara pasien yang mendapatkan hMG dengan pasien yang mendapatkan rFSH18,. Tetapi, Gordon dkk. mengatakan terjadi peningkatan angka implantasi yang signifikan pada pasien yang mendapat FSH/LH dalam rasio 75/75 IU, meskipun tidak terbukti meningkatkan angka kelahiran hidup.
Bila terjadi kegagalan program stimulasi ovarium yang terkontrol, dapat dilakukan berulang kali. Namun, Alboughar dkk. menyarankan percobaan hanya dilakukan maksimal 3 kali pada pasien-pasien infertilitas yang penyebabnya tidak diketahui. Ini berkaitan dengan angka kehamilan yang secara bermakna turun pada pasien-pasien yang sudah 3 kali dilakukan stimulasi ovarium terkontrol.
Tujuan dari program stimulasi ovarium yang terkontrol/superovulasi pada fertilisasi in vitro adalah mendapatkan perkembangan folikel-folikel pada saat yang bersamaan, sehingga pemberian human chorionic gonadotropin atau luteinizing hormone dan pengambilan sel telur dapat dijadwalkan dengan tepat. Selain itu, juga untuk memperoleh cukup sel telur yang matang yang mempunyai kemampuan dibuahi dan menghasilkan kehamilan, memperoleh keadaan endometrium yang menyokong implantasi dan perkembangan embrio, memperkecil pembatalan pengambilan sel telur karena tidak terjadinya perkembangan folikel, serta mendapatkan hasil optimal dari biaya pengobatan dan pemantauan.
Meskipun terbentuk folikel dominan, kegagalan ovulasi dapat dijumpai pada 9% wanita fertil normal dibandingkan dengan wanita infertil (Batista dkk., 1996). Pada siklus pengobatan dengan klomifen sitrat, pemberian hCG diberikan pada siklus berikutnya apabila pemeriksaan progesteron masa luteal tengah menunjukkan kadar <10 ng/ml. Indikasi lain pemberian hCG adalah untuk perencanaan saat ovulasi sehubungan dengan tindakan inseminasi buatan.
Pemberian hCG dilakukan berdasarkan kriteria yang dikeluarkan oleh Olivenness dkk., Daya S Albano dkk., Born dan Mannaertz, Felberbauhm dkk., serta Akman MA dkk. yaitu paling sedikit terdapat tiga atau lebih folikel dengan folikel yang terbesar sudah berdiameter e 18 mm dan kadar estradiol e 1200 pg/ ml.
Bila pada pemantauan perkembangan folikel sudah terdapat paling sedikit 3 folikel dengan ukuran yang terbesar telah mencapai 18 mm dan kadar estradiol serum >1200 pg/mL, rhFSH, dan GnRH agonist dihentikan. Suntikan intramuskular hCG 5000 IU. Selain itu, telah dicoba obat baru sebagai pengganti hCG yaitu LH dengan dosis 15000 IU yang diberikan 24 jam setelah suntikan rhFSH. Pengambilan sel telur sendiri dijadwalkan 34--38 jam setelah suntikan u-hCG/ rhLH.
Kesimpulan
Keberhasilan fertilisasi in vitro dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain umur, berat badan, kadar prolaktin, endometriosis, serta kadar gonadotropin endogen dan eksogen. Hingga saat ini belum ada terapi atau cara yang sempurna untuk mengatasi pengaruh-pengaruh tersebut, tetapi telah ditemukan obat baru pengganti preparat hCG sebagai pencetus ovulasi dan saat ini penelitian tentang obat ini telah sampai pada clinical trial tahap III.
Daftar Pustaka
Fillicori M. The role of luteinizing hormone in folliculogenesis and ovulation induction. Fertil Steril 1999; 71:405-414
Speroff L, Glass RH, Kase NG. Clinical Gynecologic Endocrinology and Infertility. 6th ed. Lippincott Williams & Wilkins. USA, 1999:31-105
Joseph G, Whelan III, Vlahos NF. The ovarian hyperstimulation syndrome. Fertil Steril 2000;73:883-896
Scott L. The cutting edge: the use of stem cells, clonning and embryo research in the context of human ART. The Scientific America 2000: 15-21
Chew S, Kumar J, Foong LC, Ng SC, Assisted Reprodutive Techniques – Promised and Problems. Singapore Med J 1999; 40(04): 76-81
Westhoff C, Murphy P, Heller D. Predictors of follicle number. Fertil Steril 2000; 74:624-628
Wu J, Zahang L, Wang X. Maturation and apoptosi of human oocytes in vitro are age related. Fertil Steril 2000; 74:1137-1141
Hull, MGR, Flemming CF, Hughes AO, McDermot A. The age-related decliune in female fecundity: a quantitative controlled study of implanting capacity and survival of individual embryos after in vitro fertilization. Fertil Steril 1996; 65: 763-790
Lau WNT, So WWK, Yeung WSB, Ho PC. The effect of ageing on female fertility in an assisted reproduction programme in Hong Kong: retrospective study. Hongkong Med J 2000; 6:147-152
Deaton JL. Assisted Reproductive Technology Succsess Rates. Profile, Wake Forest University School of Medicine 1998
Fauser BCJM. FSH action and intarovarian regulation. Study in Profertility series. Erasmus University Scholl of Medicine, Rotherdam, The Netherland, 1999; 6
Grudzinskas JG, Yovich. Gametes – The Oocytes. Great Briatin University Press, Cambriges, 1995: 277-291
Toya M, Saito H, Ohta N, Saito T, Kaneko T, Hiroi M. Oocyte quality in patient with moderate and severe endometriosis. Fertil Steril 2000; 73: 344-350
Azem F, Lessing JB, Geva E, Sharar A, Lerner-Geva; Yovel I; Amit A. Patient with stages III and IV endometriosis have a poorer outcome of in vitro fertilization-embryo transfer than patients with tubal infertility. Fertil Steril 1999; 72: 1107-1109
Tuckerman EM, Okon MA, Li, TC, Laird SM. Do Androgens have a direct effect on endometrial function? An in vitro study. Fertil Steril 2000; 74:771-779
Slowey MJ. Polycystic Ovary Syndrome: New Perspective on an old problem. Southern Med J. 2001; 94:190-196
Gordon UD. Gonadotropin stimulation regimens and oocytes quality. Center for Reproductive Medicine, University of Bristol. Bristol, United Kingdom, 2000
Loumaye E, Engrand P, Howles CM, O’dea L. Assessment of the role of serum luterinizing hormone and estradiole response to follicle-stimulating hormone on in vitro fertilization treament outcome. Fertil Steril 1998; 69: 76S-85S
Barbieri RL. Induction ovulation in infertile women with hyperandrogenism and insulin resistence. Am J Obstet Gynecol 2000; 183:1412-8
Stehler E, Markus Abt, El-Danasouri I, De Santo M, Sterzik K. Impact of recombinat follicle stimulating hormone an d human menopausal gonadotropins on in vitro fertilization outcome.
Gordon UD, Harrison RF, Fawzy M, Hennelly B, Gordon AC. A randomized prospective assessor-blind evaluation of luteinizing hormone dosage and in vitro fertilization outcome. Fertil Steril 2001; 75:324-331
Alboughar M, Mansour R, Serour G, Abdrazek A, Amin Y, Rhodes C. Controlled ovarian hyperstimulation and intrauterine insemination for treatment of unexplained infertility should be limited to a maximum of three trial. Fertil Steril 2001; 75:88-91
Subiyanto et al. Stimulasi ovarium pada program fertilisasi invitro. Rumah Sakit Anak dan Bersalin Harapan Kita. Jakarta, 2000:1-11
Daya S. GnRH antagonists in Assisted Reproduction, 1999.
Albano C, Sm,ith J, Camus M. Comparison of Different Doses of Gonadotropin-realeasing Hormone Antagonist Centrorelix during Controlled Ovarian Hyperstimulation. Fertil Steril 1997; 67:917-922
Born G, Mannaerts B. Treatment with the Gonadotropin-releasing Hormone Antagonist Ganirelix in Women undergoing Ovarian Stimulation with Rekombinant Follicle Stimulating Hormone is Effective, Safe and Covinient: Result of a Controlled, Randomized, Multicentre Trial. Hum Reprod 2000; 15:1490-1498
Akman MA, Erden HF, Tosun SB, Bayazit N, Aksoy E, Bahceci M. Addition of GnRH antagonist in cycles of poor reponders undergoing IVF. Hum Reprod 2000; 15: 2145-2147
Rabu 26 September 2007

PERBAIKAN OVULASI MONOFOLIKULAR
PERBAIKAN OVULASI MONOFOLIKULAR PADA WANITA ANOVULATOR DAN OLIGO-OVULATOR SETELAH PEMBERIAN PROTOKOL FOLIKEL STIMULATING HORMON (FSH) DOSIS RENDAH YANG DINAIKKAN (STEP UP) DENGAN PENAMBAHAN
25 INTERNATIONAL UNIT SETIAP MINGGU

Tujuan :
Membandingkan efektifitas dan efisiensi protokol step up dosis rendah untuk induksi ovulasi pada wanita dengan infertilitas anovulator ( WHO grup II)
Desain :
Penelitian open-label, prospektif, secara randomisasi, dengan membandingkan kelompok, dan multisenter.
Tempat :
Delapan belas pusat infertilitas di Eropa dan Kanada.
Pasien :
Seratus limapuluh delapan wanita infertil anovulator atau oligo-ovulator.
Intervensi :
Pasien secara acak diberikan satu dari dua protokol folitropin beta (rFSH) untuk satu siklus menggunakan perlengkapan pen. Dosis awal adalah 50 IU/ hari selama 7 hari. Jika tidak ditemukan folikel yang berukuran ¡Ý 12 mm, maka dosis harian ditingkatkan 25 atau 50 IU setiap minggunya.
Nilai utama yang diukur :
Persentase dari semua subyek yang diterapi yang mengalami ovulasi setelah satu siklus terapi ( efikasi ) dan dosis total rFSH untuk mencapai ovulasi ( efisiensi ).
Hasil :
Kelompok 25 IU memiliki insiden pertumbuhan monofolikular yang lebih tinggi ( 41,3% dari 80 wanita vs 21,8% dari 78 wanita) demikian juga dengan ovulasi (81,3% vs 60,3%), dosis rFSH kumulatif yang lebih rendah (887 IU vs 984 IU ), dan insiden kegagalan akibat hiperespon yang lebih sedikit ( > 3 folikel ¡Ý 15 mm; 5,0 % vs 20,5% ). Kedua protokol dapat ditoleransi dengan baik.

Kesimpulan :
Penambahan mingguan sebesar 25 IU dari dosis harian lebih efektif dan efisien dibandingkan penambahan 50 IU.
Klomifen sitrat merupakan terapi inisial standar bagi wanita infertil dengan anovulasi kelompok II menurut WHO. Terapi ini mengembalikan ovulasi pada sekitar 70% pasien, dan 35% mengalami kehamilan dalam 6 bulan. Namun bagaimanapun, angka konsepsi dengan klomifen sitrat diperkirakan lebih rendah dibandingkan dengan terapi gonadotropin, kemungkinan karena efek antiestrogenik klomifen sitrat pada mukus servik dan endometrium atau siklus terapi yang tidak dimonitor dengan baik. Terapi gonadotropin digunakan secara umum pada pasien yang resisten terhadap klomifen sitrat atau pada pasien yang tidak mengandung setelah pemberian berulang dari klomifen sitrat.
Tujuan dari induksi ovulasi dengan gonadotropin adalah untuk menemukan dosis ambang dari FSH yang dibutuhkan untuk mengembangkan folikel preovulator tunggal dan menghindari pengerahan multifolikular. Karena ambang respon terhadap FSH dari ovarium berbeda pada setiap individu, maka pelaksanaan ¡°protokol step up¡± telah memperoleh persetujuan secara luas.
Risiko utama dari beberapa protokol step up adalah berkembangnya banyak folikel−memicu pembatalan siklus, sindrom hiperstimulasi ovarium berat (OHSS), atau kehamilan multipel. Untuk mengurangi risiko komplikasi ini, telah diteliti berbagai regimen dosis rendah yang dinaikkan (step up) dan diturunkan (step down). Pada regimen dosis rendah yang dinaikkan, jumlah FSH yang digunakan dikurangi dengan menggunakan interval waktu yang lebih lama antara setiap kenaikan peningkatan dosis dan/atau dengan penambahan dosis yang lebih rendah (37,5 IU atau 50 IU bahkan 75 IU). Regimen ini terbukti berhasil mengurangi risiko hiperstimulasi ovarium sementara angka kehamilan tetap memuaskan. Namun bagaimanapun, protokol ini tidak tepat karena pasien perlu mengurus sendiri pemberian setengah atau duapertiga dari ampul gonadotropin 75 IU.
Dengan tersedianya rekombinan FSH (rFSH) dalam vial yang mengandung 50 IU (folitropin beta) atau 37,5 IU (folitropin alfa), maka akan lebih mudah bagi pasien untuk menggunakan dosis yang lebih rendah. Banyak penelitian baru-baru ini yang menunjukkan bahwa dosis awal sebesar 50 IU cukup adekuat untuk memicu ovulasi. Namun bagaimanapun, dengan mempertahankan dosis 50 IU atau bahkan lebih rendah selama 2 minggu akan membutuhkan perpanjangan periode terapi hingga lebih dari 20 hari untuk dapat menghasilkan ovulasi.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyaring regimen rFSH lebih lanjut. Kami mengevaluasi dan membandingkan efektifitas dan efisiensi protokol step up dosis rendah dengan rFSH (folitropin beta, yang dipasarkan sebagai Follistim di Amerika Serikat dan Puregon di negara lain). Kedua regimen dimulai dengan dosis harian 50 IU selama 7 hari. Dengan interval mingguan, dosis harian dinaikkan (25 IU untuk satu kelompok dan 50 IU untuk kelompok lain) pada wanita yang tidak memiliki folikel dengan diameter sekurang-kurangnya 12 mm. Puregon Pen (Follistim Pen ), digunakan sebagai perlengkapan yang bisa diinjeksikan sendiri dengan dosis gonadotropin 25 IU.

MATERI DAN METODE
Pasien
Penelitian ini dibiayai oleh dana pendidikan yang tidak terbatas dari Organon. Delapan belas pusat infertilitas di delapan negara-negara Eropa dan Kanada berpartisipasi dalam perekrutan pasien. Komite Etik Independen dari masing-masing tempat menyetujui protokol percobaan ini. Periode penelitian adalah dari Juni 2000 hingga Januari 2002. Wanita yang memenuhi syarat adalah wanita anovulator dan oligo-ovulator (infertilitas grup II menurut WHO), dengan perdarahan withdrawal progestagen atau perdarahan menstruasi spontan. Wanita harus telah mengalami infertilitas sekurang-kurangnya satu tahun sebelumnya dan tidak mengalami ovulasi atau konsepsi selama sekurang-kurangnya tiga siklus penggunaan klomifen sitrat sebelumnya. Namun, pasien tidak boleh menggunakan klomifen sitrat atau gonadotropin dalam 30 hari sebelum dimulainya penelitian.
Para wanita ini harus berusia 18-39 tahun dan memiliki kesehatan fisik dan mental yang baik. Indeks massa tubuh tidak boleh kurang dari 18 kg/m2 dan tidak boleh lebih dari 33 kg/m2. Pasien harus memiliki kavitas uterin yang normal, yang dibuktikan dengan gambaran terbaru histeroskopi, histerosalfingografi, atau sonohisterografi (dalam 3 tahun) saat skrining. Untuk menyingkirkan wanita yang memiliki tumor sekresi androgen, maka wanita tersebut harus memiliki kadar T total serum < 5,0 nmol/L (nilai normal teratas bagi wanita eumenorhea sehat nonhirsute adalah 2,94 nmol/L) atau kadar T bebas berada dalam batas normal menurut referensi laboratorium lokal. Semen dari pasangan wanita tersebut haruslah memiliki sekurang-kurangnya 10 x 106 sel sperma per mililiter yang motil secara progresif, yang diperiksa tidak lebih dari 2 tahun sebelum randomisasi.
Wanita yang tidak memenuhi syarat apabila mereka sedang hamil atau menyusui, pernah dirawat karena OHSS, mengalami hiperprolakinemia yang tidak ditangani, atau memiliki tumor ovarium, payudara, uterus, hipofise atau hipothalamus. Wanita dengan kondisi ginekologi yang tidak memungkinkan untuk kehamilan (seperti tumor fibroid uterus berat atau malformasi organ seksual) juga tidak akan diikutsertakan. Kriteria eklusi lainnya termasuk perdarahan vagina yang tidak terdiagnosis, kegagalan ovarium primer, kista ovarium atau pembesaran ovarium (tidak berhubungan dengan penyakit ovarium polikistik), dan riwayat penyalahgunaan obat atau alkohol dalam 12 bulan terakhir. Tes kehamilan perlu dilakukan sebelum dimulainya terapi.
Penelitian disetujui oleh Komite Etik dari masing-masing pusat infertilitas yang berpartisipasi. Seluruh pasien memberikan inform consent tertulis. Penelitian ini dilakukan berdasarkan pada Deklarasi Helsinki, International Conference on Harmonization Guidelines, dan Good Clinical Practice.

Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian open-label, secara randomisasi, dengan membandingkan kelompok, dan multisenter untuk menilai efek dari dua regimen induksi ovulasi yang berbeda. Pasien yang sesuai dengan seluruh kriteria seleksi secara acak diberikan satu dari dua kelompok terapi dengan menerima nomor kode subyek dari daftar randomisasi. Setiap senter menerima urutan nomor kode tersebut dan mengalokasikan nomor-nomor ini pada pasien dalam pendaftaran untuk penelitian.
Kedua regimen dimulai dengan dosis harian follitropin beta 50 IU/ hari selama 7 hari. Penambahan dosis harian setiap minggunya (25 IU pada satu regimen, 50 IU pada regimen lainnya) hanya boleh diberikan pada wanita yang tidak memiliki folikel yang berukuran sekurang-kurangnya 12 mm. Pasien menggunakan obat ini sendiri, menggunakan perlengkapan injeksi pen yang disediakan yang mengandung follitropin beta 300 IU.
Terapi diawali dalam 3 hari setelah inisiasi dari menstruasi spontan atau yang dipicu dengan progestagen. Sebelum injeksi pertama, scan ultrasound dilakukan untuk menilai aktivitas folikuler dan dilakukan pengukuran kadar serum FSH, LH dan E2. Ultrasound dan pengukuran LH dan E2 diulangi pada hari ketujuh dari terapi dan kemudian setiap 2-3 hari, tergantung dan termasuk hari pemberian hCG. Sekurang-kurangnya pada dua kesempatan (5-10 hari setelah pemberian hCG), kadar P serum diukur untuk mengkonfirmasi terjadinya ovulasi (¡Ý 25 nmol/L, seperti yang diukur oleh laboratorium setempat). Ovulasi juga dapat dikonfirmasikan dengan ultrasound.
Terapi dilanjutkan hingga terlihat satu folikel yang ¡Ý 18 mm. Kemudian hCG ( Pregnyl 10.000 IU) diberikan dalam bentuk injeksi tunggal baik secara SC maupun IM untuk memicu terjadinya ovulasi. Setelah itu, inseminasi intrauterin (IUI) dapat dilakukan. Pemberian hCG tidak dilakukan jika terdapat insufisiensi respon ovarium setelah 35 hari terapi atau pada kasus dimana terjadi hiperespon dari ovarium ( ¡Ý3 folikel yang ¡Ý 15 mm).
Terapi pada penelitian ini hanya terbatas pada satu siklus (maksimum 35 hari), dan periode percobaan diakhiri dengan perdarahan menstruasi, keguguran, atau adanya bukti klinis yang menunjukkan kehamilan yang sedang berlangsung. Dalam rangka mengkonfirmasikan ovulasi, pasien diminta untuk mengunjungi klinik 3-6 minggu setelah hari pemberian hCG atau sejak injeksi terakhir folitropin beta untuk mendeteksi kemungkinan kehamilan dengan ultrasound. Kehamilan juga dapat dinilai dengan pengukuran hCG serum. Jika wanita terseburt hamil, maka dilakukan ultrasound pada minggu 10-12 untuk mendokumentasikan kehamilan yang sedang berlangsung.
Poin Akhir
Hasil primer yang diukur adalah persentase dari semua subyek yang diterapi yang mengalami ovulasi setelah satu siklus terapi (efikasi) dan dosis total rFSH untuk mencapai ovulasi (efisiensi). Wanita ini dianggap mengalami ovulasi jika sekurang-kurangnya satu kali pengukuran progesteron (P) serum setelah terapi follitropin beta adalah diatas nilai ambang ( ¡Ý 25 nmol/L); jika mereka menjadi hamil atau mengalami kehamilan ektopik atau keguguran; atau jika dijumpai bukti lain dari ovulasi (misal melalui ultrasound). Pasien yang meninggalkan penelitian ini dan melanjutkan dengan IVF-ET dianggap tidak mengalami ovulasi.
Hasil sekunder yang diukur termasuk diantaranya persentase dari wanita dengan siklus monofolikular; persentase dari kegagalan siklus karena hipo- atau hiperespon ovarium; jumlah total hari terapi; jumlah total folikel ¡Ý2, ¡Ý 14, ¡Ý 16 dan ¡Ý 18 mm; kadar serum E2, FSH, dan LH pada hari pemberian hCG atau pada 1-3 hari sebelumnya; ukuran dosis terakhir dari follitropin beta; angka kehamilan yang sedang berlangsung; dan angka gestasi multipel. Siklus diklasifikasikan kedalam ¡°monofolikuler¡± jika secara pasti ditemukan satu folikel ¡Ý 16 mm dan tidak ada folikel lain yang ¡Ý 12 mm.
Melalui penelitian ini, keamanan dievaluasi dengan memonitor kejadian merugikan (adverse event/ AE) alamiah dan insiden dari OHSS. OHSS digolongkan dalam kelompok ringan, sedang, atau berat.
Analisa Statistik
Untuk penilaian efikasi dan efisiensi, convidence interval (CI) 95% dua sisi dihitung untuk keseluruhan perbedaan terapi. Metode stratifikasi Cochran digunakan untuk parameter nondikotomi, dan pendekatan stratifikasi Cochran-Mantel-Hanzel digunakan untuk parameter dikotomi. Dengan 90 pasien yang dapat dievaluasi dari masing-masing kelompok, angka ovulasi dapat diperkirakan dengan ketelitian (SE) sekitar 5%.
HASIL
Pasien
Dari 161 pasien yang termasuk dalam kriteria inklusi, sebanyak 158 wanita yang menjalani terapi. Tiga wanita (semuanya dari kelompok 25 IU) berhenti sebelum terapi dimulai: satu orang dikarenakan kehamilan spontan, satu orang karena problem sosial, dan satu orang karena kista folikuler. Dari 158 wanita yang menjalani terapi, 80 orang pasien merupakan kelompok penambahan 25 IU dan 78 pasien dari kelompok penambahan 50 IU.
Total 40 orang pasien berhenti menjalani terapi sebelum waktunya. Alasan utama penghentian ini adalah risiko terjadinya hiperstimulasi ovarium (5 orang dari kelompok 25 IU dan 16 orang dari kelompok 50 IU). Tiga wanita menghentikan terapi karena timbulnya efek samping yang merugikan: dua wanita dari kelompok 25 IU berupa perdarahan mirip menstruasi yang ringan-sedang dan satu wanita dari kelompok 50 IU karena demam sedang. Dari masing-masing kelompok, satu wanita berhenti karena respon yang tidak kuat dan satu wanita karena ovulasi spontan.
Diantara pasien yang ditangani dengan hCG, 7 wanita (2 orang dari kelompok 25 IU dan 5 orang dari kelompok 50 IU) memiliki lebih dari 3 folikel yang berukuran ¡Ý 15 mm dan melanjutkan dengan IVF. Tiga wanita lainnya memiliki banyak sekali folikel namun tidak melanjutkan dengan IVF; alasan berhentinya mereka diklasifikasikan ke dalam ¡° alasan lain-lain¡±. Satu wanita melakukan injeksi hCG namun tidak memiliki IUI karena indeks massa tubuh yang tinggi. Totalnya, 118 wanita menyelesaikan percobaan (68 orang dari kelompok 25 IU dan 50 orang dari kelompok 50 IU).
Tabel 1 menunjukkan ringkasan dari karakteristik demografi, menstrual, dan fertilitas dari semua wanita yang memulai terapi. Nilai basis dari kadar hormon dari kedua kelompok dibandingkan (Tabel 2).
Parameter Efikasi dan Efisiensi Primer
Gambar 1 memperlihatkan angka ovulasi dan nilai rata-rata dari dosis total follitropin beta yang digunakan pada kedua kelompok. Kebanyakan wanita yang berovulasi adalah dari kelompok 25 IU dibanding kelompok 50 IU (65 [81.3%] vs 47 [60,3%] ). Perkiraan perbedaan terapi dari poin persentase 18,6 secara statistik adalah signifikan. Dengan angka ovulasi 81.3% pada kelompok 25 IU dan 60,3% pada kelompok 50 IU, maka 4,8 subjek akan membutuhkan penanganan dengan regimen penambahan 25 IU untuk mendapatkan ovulasi sekali lagi. Diantara pasien yang ditangani dengan hCG, angka ovulasi adalah 89.9% untuk kelompok 25 IU dan 78,9% untuk kelompok 50 IU.
Dosis total rata-rata dari follitropin beta yang diberikan lebih rendah pada kelompok 25 IU dibandingkan pada kelompok 50 IU (886,6 ¡À 491,3 IU vs 984 ¡À 572,4 IU ). Perkiraan perbedaan terapi juga signifikan secara statistik.
Parameter Efikasi Sekunder
Tabel 3 menunjukkan hasil dan analisa statistik dari seluruh pengukuran hasil efikasi sekunder. Persentase pasien dengan siklus monofolikuler pada kelompok 25 IU hampir dua kali lipat lebih tinggi dari pada kelompok 50 IU (41,3% vs 21,8%, dari seluruh subjek yang diterapi). Angka kegagalan sehubungan dengan hiperespon ovarium adalah lebih rendah pada kelompok 25 IU, dimana dosis ambang rata-ratanya (dosis terakhir dari follitropin beta sebelum pemberian hCG) dan kadar E2 serum rata-rata juga lebih rendah. Kadar LH serum rata-rata lebih tinggi pada kelompok 25 IU. Namun bagaimanapun, perbedaan ini secara luas adalah dikarenakan tiga nilai (yang menunjukkan peningkatan tajam dari LH) pada salah satu pusat penelitian. Jika hasil dari tempat ini tidak dimasukkan dalam analisa, maka hanya akan menghasilkan sedikit perbedaan antara kedua kelompok terapi (7,16 dan 6,28 U/L), yang tidak signifikan secara statistik. Sekitar 30% pasien dari kedua kelompok tetap bertahan pada dosis awal 50 IU. Lebih dari setengah wanita dari kedua kelompok membutuhkan penambahan dosis satu kali selama terapi; dan pada kedua kelompok sama-sama membutuhkan penambahan dosis hingga dua atau tiga kali dengan persentase yang sama (~ 10%)
Tidak ditemukan adanya perbedaan yang signifikan secara statistik mengenai kegagalan yang dikarenakan respon yang rendah, jumlah total hari terapi, dan kadar FSH serum rata-rata. Demikian juga halnya dengan angka kehamilan yang sedang berlangsung (20,0% pada kelompok 25 IU vs 12,8% pada kelompok 50 IU) yang secara statistik tidak signifikan. Tidak ditemukan adanya kehamilan ektopik. Ditemukan dua kehamilan multipel (satu kembar dan satu kembar tiga), yang berasal dari kelompok 25 IU. Kedua wanita yang mengalami kehamilan multipel memiliki satu folikel 14 mm, satu folikel 15 mm, dan satu folikel ¡Ý 18 mm yang ditemukan pada pemeriksaan ultrasound yang terakhir.
Gambar 2 menunjukkan jumlah folikel rata-rata dari keempat ukuran, yang diukur pada saat pemberian hCG (atau 1-3 hari lebih awal). Semua wanita yang menerima hCG ikut dihitung, sedangkan mereka yang beralih ke siklus IVF tidak dihitung. Folikel yang banyak ditemukan dari kelompok 50 IU, terutama dengan ukuran 14-18 mm (gambar 2A). Karena itu dari kelompok 50 IU ini, lebih banyak yang beralih pada siklus IVF setelah menjalani injeksi hCG (lima vs dua). Jika ketujuh wanita ini dieklusikan, maka jumlah total folikel-folikel ditemukan hanya sedikit lebih tinggi pada pada kelompok 50 IU dan distribusi dari folikel-folikel ini berdasarkan ukurannya sebanding antara kedua kelompok terapi (gambar 2B).
Gambar 3 menunjukkan angka kegagalan sehubungan dengan hiperespon ovarium selama periode terapi. Ditemukan jumlah wanita yang mengalami hiperespon ovarium lebih tinggi pada pada kelompok 50 IU: 20,5% vs 5,0% dari kelompok 25 IU (P = .004)
Keamanan
Insiden dari efek merugikan (AE) sebanding antara kedua kelompok terapi. Totalnya 12,7% dari wanita dilaporkan mengalami AE yang diperkirakan mungkin atau pasti berhubungan dengan medikasi penelitian (10% pada kelompok 25 IU dan 15,4% pada kelompok 50 IU). AE yang paling banyak dilaporkan adalah sakit kepala (11,3% pada kelompok 25 IU vs 9,0% pada kelompok 50 IU) dan nyeri abdomen (ginekologikal) (12,5% pada kelompok 25 IU vs 9,0% pada kelompok 50 IU).
Dua pasien (satu dari kelompok 25 IU dan satu dari kelompok 50 IU) dirawat akibat OHSS, yang diklasifikasikan sebagai kejadian merugikan yang berat Kedua pasien membaik, meskipun salah satunya membutuhkan waktu perbaikan hingga 40 hari. Dua wanita dari kelompok 25 IU dan satu wanita dari kelompok 50 IU mengalami OHSS ringan. Tiga wanita meninggalkan penelitian akibat timbulnya AE: pada dua kasus (dari kelompok 25 IU) dikarenakan perdarahan seperti menstruasi yang tidak teratur yang diklasifikasikan kedalam derajat ringan dan sedang dan keduanya kemungkinan berhubungan dengan medikasi penelitian; pada satu kasus dikarenakan demam (dari kelompok 50 IU) yang tergolong sedang dan tidak berhubungan dengan medikasi penelitian.

DISKUSI
Penelitian ini menunjukkan bahwa kedua regimen dosis dari rFSH (follitropin beta) efektif dan aman untuk induksi ovulasi pada wanita anovulator dan oligo-ovulator (WHO grup II). Penggunaan dosis tambahan yang lebih kecil (25 IU daripada 50 IU) menghasilkan angka ovulasi yang lebih tinggi (81.3% vs 60,3% dari seluruh subjek yang diterapi), dengan total rFSH yang dibutuhkan serta dosis ambang yang lebih kecil. Karena itu regimen dengan penambahan 25 IU lebih efektif dan efisien dibandingkan regimen dengan penambahan 50 IU. Hasil ini mendukung konsep bahwa regimen follitropin beta dengan menambah dosis hanya 25 IU setiap minggunya jelas-jelas mengurangi risiko hiperstimulasi pada pasien yang terutama sensitif terhadap gonadotropin.
Angka kegagalan sehubungan dengan hiperespon ovarium dalam penelitian kami jelas berkurang pada kelompok 25 IU (5,0 % vs 20,5% pada kelompok 50 IU; P =.004 ). Namun bagaimanapun, angka kegagalan yang lebih rendah ini tidak memperhitungkan keseluruhan insiden yang lebih tinggi pada kelompok 25 IU. Insiden kista monofolikular diantara pasien yang mengalami ovulasi tidak berbeda antara kelompok 25 IU dan 50 IU.
Lebih dari satu dekade terakhir, protokol dengan dosis FSH yang bervariasi telah diteliti untuk induksi ovulasi. Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk memperoleh maturasi dan ovulasi dari folikel tunggal yang dominan, tanpa memicu terjadinya kiperstimulasi ovarium. Saat ini, regimen step up dosis rendah yang berlangsung lama adalah yang paling banyak digunakan. Dibandingkan dengan regimen step up konvensional lainnya, regimen step up dosis rendah yang berlangsung lama cenderung menghasilkan angka perkembangan monofolikular yang lebih tinggi dan sedikit peningkatan angka kehamilan. Sebagai tambahan, timbulnya OHSS terhindari dan angka kehamilan multipel jelas berkurang. Namun bagaimanapun, regimen step up dosis rendah menggunakan dosis awal FSH 75 IU untuk 14 hari dapat menyebabkan overstimulasi ketika preparat FSH rekombinan yang lebih poten digunakan. Sekitar 10%-20% siklus batal akibat hiperespon ovarium, dan perkembangan folikel dominan yang tunggal hanya dapat dicapai sekitar 50% (37%-79%) dari seluruh siklus yang tidak batal.
Dalam penelitian multisenter luas menggunakan regimen step up dosis rendah yang berlangsung lama dengan FSH urinarius (uFSH) atau rFSH untuk induksi ovulasi, angka ovulasi adalah sekitar 60% dari seluruh siklus yang tidak batal dan sekitar 70% dari seluruh siklus yang telah mulai. Angka kumulatif dari kehamilan yang sedang berlangsung (diobservasi setelah maksimal tiga siklus terapi) dilaporkan dalam penelitian-penelitian ini adalah sekitar 45% dari siklus yang tidak batal dan sekitar 25% dari seluruh siklus yang telah dimulai.
Hasil efikasi dari penelitian klinis terhadap induksi ovulasi adalah sangat bergantung pada populasi yang digunakan dalam analisa, jumlah siklus terapi, dan bagaimana data dipresentasikan. Penelitian kali ini menggunakan analisa intent-to-treat dan menampilkan hasil akhir pengukuran (seperti angka ovulasi, jumlah siklus monofolikuler, dan angka kehamilan) dalam bentuk persentase dari keseluruhan siklus yang telah dimulai (penelitian ini hanya terdiri dari satu siklus terapi). Sebaliknya, kebanyakan dari penelitian-penelitian regimen step up dosis rendah standar yang telah disebutkan diatas tidak menggunakan analisa intent-to-treat dan menampilkan hasil kumulatif setelah maksimal tiga siklus. Karena itu, hasil dari penelitian ini sulit dibandingkan dengan penelitian-penelitian regimen step up dosis rendah standar tersebut.
Penelitian kecil, cross over, secara randomisasi membandingkan respon folikular dari kedua dosis awal rFSH yang rendah (follitropin beta 50 IU vs follitropin alfa 37,5 IU). Dosis harian ini dipertahankan selama 2 minggu; jika tidak ditemukan bukti perkembangan folikular, maka dosis harian ini ditingkatkan 50 IU (follitropin beta) atau 37,5 IU (follitropin alfa) dalam interval mingguan. Terdapat interval sekurang-kurangnya satu bulan antara siklus terapi. Limabelas pasien yang resiten terhadap klomifen sitrat menerima kedua regimen terapi. Semua siklus terapi adalah ovulator. Enampuluh persen dari siklus follitropin beta dan 67% dari siklus follitropin alfa adalah siklus monofolikuler; perbedaannya tidaklah signifikan secara statistik. Perbedaan selisih hasil antara penelitian ini dengan tiga penelitian sebelumnya dapat dijelaskan dengan sejumlah kecil sampel sebanyak 15 wanita, dimana tidak satupun yang mengalami siklus yang batal.
Dua penelitian terbaru pada wanita dengan sindrom ovarium polikistik (PCOS) memberikan bukti yang lebih jelas bahwa dosis awal follitropin beta 50 IU dan penambahan mingguan sebesar 25 IU menghasilkan perbaikan efikasi dan memperendah risiko terjadinya OHSS. Satu dari penelitian ini membandingkan regimen step up versus regimen step down, keduanya menggunakan follitropin beta, pada 83 wanita dengan PCOS. Regimen step up menggunakan dosis harian awal 50 IU selama 14 hari, diikuti dengan penambahan mingguan sebesar 25 IU, hingga dosis harian maksimum 100 IU pada siklus pertama. Kedua siklus selanjutnya dapat dimulai dengan dosis 75 IU/hari dan dapat ditingkatkan hingga dosis hariannya 125 IU/hari. Pada regimen step down, dosis awal 100 IU digunakan hingga ditemukan folikel > 9 mm, kemudian dosis dikurangi hingga 75 IU/hari selama 3 hari dan 50 IU/hari hingga hari sebelum pemberian hCG. Jika pembentukkan folikuler terbukti tidak ada dalam 5 hari, maka dosis harian ditingkatkan hingga 150 IU. Ketika folikel > 9 mm terlihat, dosis harian dikurangi menjadi 125 IU/hari selama 3 hari, kemudian 100 IU/hari untuk 3 hari, dan kemudian 75 IU/hari hingga hari sebelum pemberian hCG. Protokol step up memiliki insiden pertumbuhan monofolikuler yang lebih tinggi ( 68,2% vs 32%; P < .0001) dan angka ovulasi yang lebih tinggi ( 70,3% vs 61,7%; P = .02)
Penelitian lain membandingkan dua regimen step up dosis rendah rFSH pada 100 wanita dengan PCOS yang resisten terhadap klomifen sitrat: satu kelompok menerima follitropin alfa (dosis awal 75 IU dan dosis tambahan 37,5 IU), dan lainnya menerima follitropin beta (dosis awal 50 IU dan dosis tambahan 25 IU). Perbedaan persentase wanita yang mengalami ovulasi secara statistik tidaklah signifikan (89% untuk folitropin alfa dan 98% untuk folitropin beta). Namun bagaimanapun, kelompok folitropin beta memiliki folikel > 16 mm yang lebih banyak (2,1 vs 1,6 , P < .05) dan siklus yang batal lebih sedikit (4% vs 15,7%, P<.05) dibandingkan kelompok follitropin alfa. Kedua penelitian terbaru ini mengkonfirmasi lebih lanjut penemuan kami bahwa dosis awal folitropin beta 50 IU, diikuti peningkatan dosis secara mingguan sebesar 25 IU, adalah merupakan alternatif terapi yang optimal, meminimalisasi risiko terjadinya hiperstimulasi ovarium.
Pada penelitian kami ini, hanya satu wanita (1,3%) dari masing-masing kelompok dirawat akibat OHSS. Ini mengindikasikan bahwa kedua regimen dosis cukup adekuat untuk meminimalkan risiko terjadinya OHSS pada kelompok pasien terutama yang sensitif terhadapnya. Rendahnya kejadian gestasi multipel (hanya dua kasus) mendukung pentingnya pemantauan yang teliti terhadap perkembangan folikel selama perangsangan ovarium pada pasien PCOS. Penemuan yang mengejutkan adalah insiden keguguran yang relatif rendah (11,1% dari kehamilan) pada kelompok 25 IU. Kebanyakan pasien hamil dengan PCOS dilaporkan memiliki angka keguguran dini sekitar 20%-30%. Namun bagaimanapun, angka keguguran yang sama (15%) juga ditemukan pada penelitian kecil menggunakan regimen step up dan step down.
Penelitian ini mengesankan bahwa kedua dosis kumulatif dari folitropin beta diperlukan dan dosis ambang folitropin beta berkurang jika digunakan dosis tambahan yang lebih kecil (25 IU daripada 50 IU). Durasi terapi rata-rata pada kedua kelompok adalah sama (13-14 hari). Periode terapi ini sebanding dengan laporan hasil penelitian lain dengan regimen uFSH atau rFSH. Peralatan injeksi pen yang digunakan dalam penelitian ini sesuai sekali bagi pasien untuk menghasilkan dosis yang tepat 25 IU yang dapat dipergunakan sendiri.
Sebagai kesimpulan, protokol step up dosis rendah follitropin beta (yang diberikan menggunakan peralatan injeksi pen), dengan dosis awal rFSH 50 IU dengan pemberian tambahan yang lebih sedikit (25 IU dibandingkan 50 IU) secara mingguan (pada keadaan tidak ditemuinya folikel yang berukuran diameter minimal 12 mm), menghasilkan stimulasi ovarium yang lebih terkontrol untuk induksi ovulasi. Protokol dengan penambahan dosis secara mingguan yang lebih kecil ini lebih efektif dan efisien, ditunjukkan dengan besarnya persentase wanita yang mengalami pertumbuhan monofolikuler, tingginya persentase wanita yang mengalami ovulasi, dan rendahnya kegagalan sehubungan dengan hiperespon, serta dosis total rFSH yang digunakan lebih rendah.
Got a little couch potato? Check out fun summer activities for kids.
Diposting oleh suheimi ksuheimi di 11:15
0 komentar:
Posting sebuah Komentar
Posting Lebih Baru Posting Lama Halaman Muka
Berlangganan: Posting Komentar (Atom)
Pilot Project: Kompilasi Web by Minangs.Com
Saat ini kami sedang mengembangkan sebuah web compiler, yang menampilkan postingan (tulisan) dari kawan-kawan (minang's) di www.minangs.com (Hak Cipta tulisan pada penulis masing-masing).Mohon tanggapan dan kritiknya, jika ingin berpartisipasi juga memungkinkan, maaf belum bisa meletakkan bukutamu di web tersebut, karena sedang dalam perbaikan.Mohon memberi tanggapan
Cakrawala Baru Bayi Tabung
9- 2004

WANITA penderita infertilitas yang disebabkan oleh Polycystic Ovarian Syndrome (PCO), kelainan ovarium dengan banyak gelembung cairan (folikel) berisi sel telur (oosit), dalam waktu dekat akan mendapatkan alternatif baru untuk memperoleh anak melalui program bayi tabung (IVF). Proses penanganan yang selama ini melelahkan, menjemukan, dan menghabiskan biaya cukup besar, kemungkinan akan berubah secara dramatis menjadi penanganan yang sederhana, singkat, dan dengan biaya yang relatif lebih murah. Baru-baru ini dikemukakan kelahiran 20 bayi dari 33 wanita infertil dengan kelainan PCO, melalui teknik kultur oosit in vitro yang lazim disebut sebagai teknik Oocytes In Vitro Maturation (IVM). Prinsip teknik ini adalah memberikan waktu yang optimum bagi oosit, dalam medium kultur dengan formula khusus, untuk melanjutkan proses pembelahan (meiosis) dari fase I ke fase II, agar oosit mampu melakukan fertilisasi dengan sperma untuk menjadi embrio. Artinya, oosit dengan tingkat kualitas yang kurang sempurna, seperti pada penderita PCO, dapat berkembang lebih baik pada medium kultur in vitro. Keberhasilan tersebut dipaparkan oleh Kwa-Yung Cha dan kawan-kawan, dalam 11th World Congress on In Vitro Fertilization and Human Reproductive Genetics yang diselenggarakan pada 9-14 Mei 1999 di Sydney, Australia, dan dihadiri oleh ribuan peserta termasuk penulis. Teknik IVM ini sebenarnya telah dirintis oleh Ryle pada oosit mencit sejak 10 tahun sebelum Louise Brown, bayi tabung pertama, dilahirkan pada tahun 1978. Berturut-turut kemudian, dikembangkan oleh para ahli pada mamalia lainnya, dan baru tahun 1974 pada manusia. Karena pertimbangan etika, minat para ahli untuk menyempurnakan teknik IVM pada IVF masih sedikit . Baru pada tahun 1996, para ahli yakin bahwa IVM dapat secara aman diterapkan pada manusia, setelah kelompok Eppig mampu membuktikan hasil yang baik pada saat diterapkan pada mencit. Namun sebelumnya, pada tahun 1992, secara tidak terduga Cha dan kawan-kawan, berhasil melaporkan kelahiran 4 bayi baru dengan teknik IVM pada uji klinik terhadap 7 wanita infertil dengan PCO. Berbagai kritik pedas yang dilancarkan, menyebabkan para ahli berupaya keras untuk membuktikan secara ilmiah pada dunia internasional bahwa agar teknik IVM dapat diterapkan pada manusia, harus mampu memenuhi persyaratan klinis dan etis seperti ditetapkan WHO. Induksi ovulasiSeperti diketahui bahwa program bayi tabung (IVF) semula menggunakan pendekatan ovulasi spontan; yaitu hanya satu oosit diperoleh pada pertengahan masa haid per bulan. Sejak 20 tahun terakhir lebih banyak digunakan program induksi ovulasi agar dapat diperoleh oosit lebih dari satu (multi-oosit). Penyebab infertilitas sebenarnya masih belum diketahui dengan jelas. Salah satunya dapat disebabkan oleh gangguan keseimbangan hormon reproduksi, misalnya anovulasi, sehingga ovarium tidak menghasilkan oosit setiap bulan. Gangguan keseimbangan hormon ini menyebabkan para ahli mengembangkan cara baru dalam pengendalian hormon melalui induksi ovulasi. Berbagai protokol induksi ovulasi telah banyak dikemukakan oleh sentra klinik di berbagai negara, termasuk Indonesia, tergantung pada indikasi penderita, tingkat pemahaman pengelola, dan yang terpenting, biaya yang harus dikeluarkan oleh penderita.Tujuan utama induksi ovulasi sesungguhnya adalah untuk mendapatkan lebih dari satu oosit agar lebih banyak sel oosit yang dibuahi oleh sperma sehingga dapat diperoleh lebih dari satu embrio; karena sukses IVF juga tergantung pada berapa banyak embrio yang diletakkan ke dalam rahim. Dalam perkembangan selanjutnya, sekalipun para ahli berbeda pendapat mengenai protokol induksi ovulasi, setelah diinduksi terjadi pertumbuhan beberapa folikel yang mengandung oosit, seringkali melebihi 10, dengan derajat kualitas oosit berbeda, yang erat kaitannya dengan tahapan meiosis, yaitu oosit dengan kualitas rendah, sedang, dan baik. Oosit dengan tingkat kematangan sempurna adalah pada meiosis metafase II dengan tanda ditemukannya polar body (Lihat gambar); oosit yang diambil pada metafase I dan diberikan waktu inkubasi antara 5 - 15 jam, ternyata mampu melanjutkan proses meiosis secara mandiri. IVF merupakan tindakan yang sulit diterapkan pada penderita PCO karena kekhawatiran terjadinya efek samping sindroma hiperstimulasi akibat induksi ovulasi; akibatnya, sering dilakukan penundaan penanganan penderita. Selain itu, sejumlah oosit yang diperoleh dari penderita ini mempunyai derajat kualitas yang berbeda, menyebabkan rendahnya angka keberhasilan. Untuk menghindarkan terjadinya kedua hal tersebut, induksi dilakukan terhadap sejumlah oosit secara in vitro menggunakan medium dengan formula khusus. Medium ini ternyata dapat memacu proses pembelahan sejumlah oosit sampai metafase II. Manfaat teknik IVMSelain terjadi efek samping akibat induksi, dengan makin banyaknya jenis obat baru pemacu hormon untuk induksi ovulasi seperti produk mutakhir rancangan teknologi rekombinan, dan jenis bahan habis pakai, menyebabkan biaya penanganan IVF menjadi makin mahal. Komponen terbesar biaya tersebut adalah terutama untuk pengadaan obat pemacu hormon dan bahan habis pakai untuk induksi ovulasi, yang diperkirakan dapat mencapai hingga 70 persen dari biaya keseluruhan untuk setiap IVF. Biaya tersebut akan bertambah apabila penanganan IVF gagal dan harus diulang pada siklus haid berikutnya. Teknik IVM kultur oosit in vitro dapat digunakan sebagai salah satu alternatif penanganan IVF karena manfaatnya antara lain adalah: (1) meniadakan induksi ovulasi karena sejumlah oosit dapat diambil dari gelembung folikel PCO dengan diameter >6 mm, dan selanjutnya dikultur dengan menggunakan teknik IVM; (2) menekan biaya karena tidak perlu dilakukan induksi ovulasi; dan (3) mencegah terbuangnya oosit dengan kualitas rendah pada penderita infertilitas lain yang menggunakan induksi ovulasi. Reaksi penderita yang beragam pada induksi dengan cara apa pun, menyebabkan sulitnya pemberian dosis dan saat yang tepat untuk dilakukan pengambilan oosit. Salah satu cara terbaik adalah dengan melakukan pendekatan per individu dan merancang protokol yang tepat digunakan untuk penderita tersebut. Program IVF yang ideal tidak memerlukan biaya tinggi, menghasilkan banyak oosit dengan kualitas baik, dan mempunyai angka transfer serta angka kehamilan yang tinggi. Protokol yang optimal hendaknya mempertimbangkan sinkronisasi kualitas oosit, kesiapan rahim, dan kemampuan embrio untuk tumbuh dalam rahim. IVF adalah prosedur kompleks yang terdiri dari berbagai tahapan dan banyak dipengaruhi berbagai faktor yang tidak diketahui dengan jelas. Oleh karena itu banyak laporan yang menunjukkan angka keberhasilan dengan berbagai kelemahan karena terdapat beberapa parameter yang tidak dikemukakan. Misalnya, dilaporkan tingginya angka kehamilan mencapai 40 persen, sedangkan di lain pihak dilaporkan hanya 10 persen, bahkan seringkali kegagalan tidak dilaporkan. Kenyataan menunjukkan bahwa sukses dari nilai dan kualitas protokol untuk IVF selama dua dekade terakhir merupakan fakta yang tak dapat disangkal lagi. Pada tahun 1995 saja, lebih dari 200.000 bayi telah dilahirkan oleh sekitar 1.000 klinik di seluruh dunia. Kini tergantung dari setiap pengelola untuk menggunakan protokol yang sederhana sesuai dengan kondisi, situasi, fasilitas, dan tingkat penguasaan iptek reproduksi pengelola. Yang terpenting adalah pertimbangan terhadap kemampuan biaya dan kenyamanan penderita infertil.

Ingin Memiliki Buah Hati.
Nita, 11 Feb 2005 14:28:34
Saya sudah 1 thn menikah dan belum dikaruniakan anak. Saya memiliki siklus haid yg tdk teratur. Ketika masuk kedalam pernikahan, saya pernah 6 bln tdk dpt haid. Ketika menikah, saya ambil keputusan utk ke dokter di Jakarta. Pada awalnya, saya diberikan gnekosit & primolut (berlangsung slm 3bln). Stiap minum obat tsb, haid saya keluar. Dokter sarankan saya utk periksa hormon & USG Amnore sekunder. Hasil USG baik. Sedangkan hasil lab utk hormon adlh LH: 9.2, FSH: 9.4, Prolactin: 6.22, Estradiol: <20. Menurut dokter, saya memiliki masalah di hormon. Tetapi terus diberikan gnekosit & primolut. Akhirnya saya ganti dokter di daerah Lippo Cikarang, & dokter katakan hormon saya masih dlm batas normal. Saya diberikan provera selama 4 bln. Bulan pertama - kedua, haid keluar dgn baik. Tetapi, haid ke 3-4, tdk sebanyak & selancar sebelumnya. Ketika haid ke-4, saya diminta datang, & diberikan profertil sbyk 5 buah diminum setiap hari, dimulai hr kedua haid. Tetapi, yg lucunya mulai hari kedua, haid saya jd berhenti, & hanya keluar bercak-bercak. Saya jd bingung. Hal ini normal atau tdk. Menurut dokter, analisa sperma suami saya adalah bagus, hanya agak lambat. Hsil tsb sbg berikut: Konsentrasi: 145 ; Motilitas: Good+Exellent: 55, Exellent: 39 ; Spermatozoa btk normal: 68 ; Viabilitas: 61* ; Lekosit: 0; Aglutinasi: (+) Kepala dgn kepala ; Kesimpulan spermatologi : Normozoospermia. Suami sayapun diberikan obat (saya lupa namanya) Dokter, kami rindu sekali memiliki anak. Tolong berikan jawaban secepatnya utk pergumulan saya ini. Terima kasih.
Jawab:
Ibu Nita Yth, Terima kasih atas konsultasinya. Saya sangat memahami kebingungan yang ibu alami saat ini. Tanggapan saya terhadap pengobatan yang dilakukan oleh 2 dokter spesialis kandungan tsb adalah tidak salah, hanya saja tahapan2nya kurang tepat. Ada pemeriksaan yang nampaknya masih kurang dan ada hal2 yang perlu ibu mengerti tapi tidak sampai kepada ibu. Suatu usaha pengobatan untuk hamil tidak sebentar, memerlukan waktu yang relatif lama dan diperlukan juga kesabaran dalam menjalankan program ini. Jangan sampai putus ditengah jalan. Bisanya prosedur yang dinamana HSG (Histerosalpingografi) mutlak diperlukan guna memastikan fungsi saluran tuba apakah ada penyumbatan atau tidak. Bila ada penyumbatan maka diperlukan tindakan untuk memperbaikinya. Kemudian diperlukan juga pemeriksaan hormon pd ibu, untuk mengetahui kadar hormon yang mengatur siklus haid dan kesuburan. Selanjutnya bila semuanya normal maka dapat dilanjutkan dengan pemrograman yang dikenal dengan induksi ovulasi dengan obat profertil seperti yang diberikan kepada ibu. Dengan induksi ovulasi ini maka diharapkan akan tumbuh sel2 telur yang matang yang siap untuk dibuahi oleh sperma. Bila melihat hasil sperma ternyata baik/normal (Normozoospermia). Sehingga tinggal menunggu saat ovulasi yang biasanya dipantau setiap hari sejak hari ke 12 dari menstruasi sampai sel telur ada yang matang dan dipecahkan dengan menggunakan obat hormonal juga dan setelah ibu disarankan untuk berhubungan dengan suami. Singkat ceritanya demikian, bila ternyata dokter yang memegang ibu saat ini memiliki strategi lain dalam menangani ibu, ya silakan saja ikuti dulu petunjuknya. Semoga berhasil, demikian, terima kasih. (dr Ferry SpOG,RSIA EVASARI,Jkt)
Kasus Infertilitas (Kemandulan)
GnRH Analog sebagai Terapi Pelengkap
Dr. dr. W. Adiyono SpOG(K) mendapat kesempatan untuk pergi ke Athena Yunani sebagai Invited Speaker pada acara World Congress GnRH Analog in Cancer & Human Reproduction, 25 Februari 2005. Ini merupakan oleh- oleh medis untuk pembaca Suara Merdeka (Red).
Athens telah berubah dan menikmati kembali taburan lampu-lampu spotlight, tata kota yang tetap kuno namun cantik dengan kereta api listrik modern. Semuanya tetap menunjukkan sebagai suatu simbol Yunani yang tetap dengan format kota kuno namun modern.
Melalui pengamatan konstruksi dari bangunan-bangunan megah yang tak terhitung jumlahnya mulai dari kota Athens sampai kota Delfi, semuanya merupakan paduan suatu arsitektur, seni dan filosofi yang sulit dilukiskan namun dapat dirasakan keindahannya. Seperti bangunan bersejarah Parthenoon, Acropolis, Caryatids, The Odeon of Herode Atticos. Termasuk pula membaca buku dari sejarawan Yunani kuno seperti Salom, Peisistratos, Byran, Elgia dan lainnya.
Melihat kehidupan Athens-Greece kuno yang pernah runtuh dan kemudian secara dramatis bangkit kembali menjadi modern, memberikan pacuan bahwa kita harus selalu dinamis dan optimis menapaki kehidupan ini.
Kemandulan
Infertilitas atau kemandulan diartikan sebagai pasangan suami isteri yang telah mencoba hamil namun tidak berhasil setelah satu tahun perkawinan. Delapan dari 10 pasangan sehat secara normal akan hamil pada tahun pertama sesudah menikah. Perlu dilakukan beberapa pemeriksaan medis untuk mengetahui penyebab kemandulan apabila dalam waktu tersebut pasangan suami isteri belum dikaruniai kehamilan.
Mengacu laporan WHO, kasus infertilitas terjadi terhadap satu diantara 10 pasangan suami isteri yang tersebar di seluruh negara-negara di dunia. Penelitian yang dilakukan di Inggris menyebutkan penyebab infertilitas adalah multifaktorial dengan penyebab kombinasi. Beberapa penyebabnya: Unexplain infertility 28%, problematik faktor sperma 21%, kegagalan ovulasi sel telor 18%, kerusakan faktor saluran tuba fallopii 14%, penyakit endometriosis 6%, problematik faktor hubungan seksual 5%, pengaruh cairan mukus di servik 3% dan 2% karena problematik dari pihak suami.
Hasil penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat dilaporkan, penyebab kasus ini ternyata didominasi oleh faktor suami yang mencapai sampai 40% dari penyebab infertilitas. Sedangkan dari faktor wanita adalah penutupan saluran tuba fallopii (saluran sel telor) yang disebabkan penyakit infeksi panggul.
Di negara-negara maju ditemukan kasus ''infertilitas yang disengaja'', yakni pasangan suami istri ini memang menunda kehamilannya karena karier pekerjaan dan ini pun dari pengamatan penulis telah terjadi pula di Semarang. Ada sisi kebaikan namun ada sisi kerugian karena salah satu penyebab peninggian infertilitas berhubungan erat dengan faktor umur. Semakin bertambah umur semakin berkurang kesuburannya. Kenaikan faktor umur akan meningkatkan terjadinya siklus anovulasi (tidak terjadinya sel telor yang masak) dan penurunan frekuensi aktivitas hubungan seksual pasangan suami istri.
Pemeriksaan Medis
Pemeriksaan pasangan suami isteri dengan infertilitas dianjurkan datang ke seorang dokter ahli kebidanan dan penyakit kandungan. Sebagai pelengkap dapat dikonsulkan ke seorang dokter andrologi, dokter urologi yang akan bekerja sama mengadakan pemeriksaan dan mengikuti jalur pemeriksaan medis untuk infertilitas. Cara ini amat penting sehingga pasangan suami isteri yang mengalami infertilitas tidak menjadi berlarut-larut dalam menentukan program pengobatannya.
Diperlukan suatu kerja sama yang erat antara dokter dan pasangan suami istri. Dokter akan melakukan beberapa pemeriksaan laboratorium untuk mencari penyebab infeksi seperti misalnya rubella atau yang lain. Istri dianjurkan untuk mengonsumsi makanan yang mengandung folic acid, berhenti merokok dan menekan kenaikan berat badan yang berlebihan. Pihak suami dianjurkan untuk berhenti merokok, menghilangkan alkohol dan melakukan aktivitas hubungan seksual 3x dalam seminggu untuk meningkatkan terjadinya konsepsi.
Pemeriksaan medis di rumah sakit meliputi: 1. tes fungsi ovulasi, 2. analisa sperma suami, 3. tes faktor tuba.(lihat bagan)
Induksi Ovulasi. Pada kasus anovulasi, dokter akan melakukan terapi induksi ovulasi. Untuk kasus dengan hasil analisa sperma yang kurang atau abnormal dapat dilakukan teknik swim up yang dilanjutkan dengan inseminasi dari sperma suami sendiri.
Laparoskopi. Faktor tuba dapat dilakukan tes dengan histerosalpingografi (HSG) atau pun pemeriksaan laparoskopi. Tindakaan laparoskopi dapat sebagai suatu diagnostik atau pun operatif. Laparoskopi diagnostik yang dilanjutkan dengan laproskopi operatif mampu melakukan suatu operasi untuk menghilangkan kemungkinan adanya endometriosis. Maupun pelepasan perlekatan-perlekatan di dalam tuba fallopii (peritubal adhesion) yang disebabkan oleh infeksi.
Laparoskopi sekaligus mempunyai kemampuan untuk menilai fungsi tuba fallopii melalui test metylen blue dengan menggunakan alat intra uterine manipulator, pemeriksaan kultur untuk mengidentifikasi kuman bakteri yang terdapat di dalam rongga panggul, dan melakukan pemeriksaan imunologis untuk menilai immunological environment di dalam cairan peritoneum (peritoneal fluid).
Peran GnRH
GnRH (Gonadotropin Releasing Hormone) merupakan suatu protein dekapeptide yang mempunyai susunan struktur 10 asam amino. GnRH diproduksi dari hipotalamus yang dikeluarkan ke bagian depan pitutaria di dalam otak kita. (lihat gambar). GnRH mempunyai tugas mengatur keseimbangan hormon dalam masa reproduksi khususnya dalam kesuburan seorang wanita yang berkaitan dengan pengeluaran hormon Gonadotropin Lutein Hormone (GnLH) dan Follicle Stimulating Hormone (FSH).
GnRH Analog
Kemajuan dari hasil penelitian kedokteran melaporkan GnRH mempunyai fungsi penting dalam modulasi fungsi reproduksi wanita. GnRH analog kemudian mulai digunakan untuk kepentingan medis antara lain seperti Leuproreline Acetate (Tapros) yang mempunyai sifat sebagai suatu antiestrogenik, antiproliferatif dan antineoplastik. Sehingga GnRH analog dapat digunakan di dunia kedokteran seperti bidang obstetri, ginekologi dan bedah. GnRH analog dikemas dengan mengganti struktur kimia dari 10 asam amino dari GnRH di posisi asam amino 6 dan 10.
Peran GnRH analog terhadap penanganan Infertilitas. GnRH analog yang dikembangkan untuk kasus infertilitas sampai penanganan bayi tabung, mempunyai fungsi penting dalam menekan terjadinya lonjakaan awal dari hormon LH (premature LH rise) saat masa awal fase folikularis. GnRH analog digunakan pula dalam kasus Polycystic Ovarian Syndrome (PCO), endometriosis, inseminasi intrauterine dan bayi tabung.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kolibianakis dkk (2003) melaporkan terjadinya penurunan yang signifikan kadar hormon LH dan estradiol pada fase folikuler pada pasien-pasien infertilitas. Dengan pemberian GnRHa diduga kuat akan mengembalikan kembali fungsi sel theca ovarium, dalam pengaturan hormon androgen menjadi hormon estradiol memasuki sel granulosa ovarium. Aktivitas GnRH analoog ini akan meningkatkan terjadinya steridogenosis, pematangan folikel telor, dan pengembalian sistem aromatase menjadi normal.
GnRH analog mempunyai fungsi penting pula di endometrium kandungan (uterus). Melalui sifat down regulated sebagai suatu sifat hipogonadotropik khususnya untuk faktor endometrium yang sangat penting untuk persiapan bayi tabung (embryo transfer).
Kesimpulan
GnRH analog merupakan suatu hormon protein yang mulai digunakan pada bidang kebidanan dan penyakit kandungan termasuk pada kasus infertilitas. Melalui sifat down regulated GnRH analog diduga kuat mampu mengatur kembali fungsi normal dari sel ovarium dan endometrium.
Peran GnRH analog dll direncanakan akan didiskusikan lebih lanjut dalam acara Workshop Laparoskopi di RS.Dr.Kariadi/ FK.UNDIP tanggal 12 dan 13 Mei 2005. (35)

Tidak ada komentar: