AMNIOINFUSI
Bambang Karsono
Amnioinfusi merupakan suatu prosedur melakukan infusi larutan NaCl fisiologis atau Ringer laktat ke dalam kavum uteri untuk menambah volume cairan amnion. Tindakan ini dilakukan untuk mengatasi masalah yang timbul akibat berkurangnya volume cairan amnion, seperti deselearasi variabel berat dan sindroma aspirasi mekonium dalam persalinan. Tindakan amnioinfusi cukup efektif, aman, mudah dikerjakan, dan biayanya murah.
Pada tahun 1976, Gabbe dkk.(1) pertama kali melaporkan tindakan amnio infusi pada kera rhesus yang hamil. Dalam percobaannya, janin kera memperlihatkan gambaran deselerasi variabel menyusul pengeluaran cairan amnion dari kavum uteri; dan gambaran deselerasi variabel menghilang setelah kavum uteri diisi kembali dengan cairan. Penelitian pada manusia baru dilaporkan pada tahun 1983 oleh Miyazaki dan Taylor (2), yang menyatakan bahwa tindakan amnio-infusi dapat menghilangkan gambaran deselerasi variabel yang timbul akibat oligohidramnion.
INDIKASI
Amnioinfusi terutama ditujukan untuk mengurangi kejadian deselerasi variabel akibat kompresi tali pusat, dan mencegah terjadinya aspirasi mekonium yang kental selama persalinan. Amnioinfusi dilakukan pada deselerasi variabel yang berat dan berulang, yang tidak menghilang dengan tindakan konvensional (perubahan posisi ibu dan pemberian oksigen).
Indikasi lain adalah untuk mencegah terjadinya oligohidramnion. Ada juga peneliti yang melakukan amnioinfusi untuk mempermudah tindakan versi luar pada presentasi bokong (3), meskipun tindakan ini tidak populer.
1. Deselerasi variabel
Deselerasi variabel merupakan perubahan periodik denyut jantung janin yang paling sering dijumpai selama persalinan. Perubahan denyut jantung janin tersebut terjadi sebagai respons terhadap berkurangnya aliran darah di dalam tali pusat.
Deselerasi variabel merupakan refleks vagal yang disebabkam oleh kompresi tali pusat yang terjadi akibat lilitan tali pusat di leher janin, terjepitnya tali pusat oleh bagian ekstremitas janin, atau tali pusat yang terjepit di antara badan janin dan dinding uterus.
Gambaran spesifik dari deselerasi variabel berupa penurunan denyut jantung janin, akibat kontraksi, yang gambarannya bervariasi dalam hal bentuk maupun hubungan saat terjadinya deselerasi dengan kontraksi uterus.
Berdasarkan besar dan lamanya penurunan denyut jantung janin, yang terjadi, maka deselerasi variabel dibedakan atas 3 jenis, yaitu (4):
1. Deselerasi variabel derajat ringan, bila penurunan denyut jantung janin, mencapai 80 dpm., dan lamanya kurang dari 30 detik.
2. Deselerasi variabel derajat sedang, bila penurunan denyut jantung janin, mencapai 70-80 dpm., dan lamanya antara 30-60 detik.
3. Deselerasi variabel derajat berat, bila penurunan denyut jantung janin, sampai di bawah 70 dpm., dan lamanya lebih dari 60 detik.
Di samping itu dikenal juga pembagian deselerasi variabel berdasarkan gambaran yang sifatnya tidak membahayakan (benign) dan yang membahayakan janin (ominous) (5).
Tanda-tanda deselerasi variabel yang tidak membahayakan janin:
1. Deselerasi timbul dan menghilang dengan cepat.
2. Variabilitas denyut jantung janin, normal.
3. Terdapat “bahu” deselerasi (akselerasi pradeselerasi dan akselerasi pasca-deselerasi).
Tanda-tanda deselerasi variabel yang membahayakan janin:
1. Timbulnya deselerasi lebih lambat dari saat terjadinya kontraksi.
2. Menghilangnya deselerasi berlangsung lambat.
3. Variabilitas denyut jantung janin, abnormal (berkurang atau melebihi variabilitas denyut jantung janin normal).
4. Takhikardia.
5. Tidak terdapat “bahu” deselerasi.
6. Deselerasi semakin bertambah berat.
Deselerasi variabel yang ringan dan tidak berulang biasanya tidak membahayakan janin. Tetapi selama masa persalinan, mungkin saja deselerasi variabel yang semula ringan akan menjadi berat.
Bila aliran darah di dalam tali pusat berkurang cukup banyak, akan terjadi deselerasi variabel derajat sedang atau berat, atau deselerasi variabel dengan tanda-tanda berbahaya.
Gambaran frekuensi denyut jantung janin, basal dan ada-tidaknya akselerasi harus diperhatikan dalam penanganan deselerasi variabel. Bila frekuensi dan variabilitas denyut jantung janin, tetap baik dan stabil, atau hanya berubah sedikit, maka penanganan dilakukan secara konservartip, misalnya dengan merubah posisi ibu dan pemberian oksigen untuk menghilangkan kompresi pada tali pusat dan memperbaiki oksigenasi janin. Bila tindakan tersebut tidak menghilangkan deselerasi variabel, maka perlu dilakukan amnioinfusi untuk mengurangi tindakan operatif.
Pada keadaan deselerasi variabel yang berat dan menetap, keadaan janin akan semakin memburuk. Bila keadaan ini tidak dapat dikoreksi, maka tindakan pengakhiran persalinan harus segera dilakukan.
Amnioinfusi cukup efektif dalam mencegah atau memperbaiki deselerasi variabel. Manfaatnya yang paling menonjol adalah dalam menurunkan angka tindakan seksio sesarea yang dilakukan atas indikasi gambaran denyut jantung janin, yang membahayakan janin (5). Amnioinfusi juga dapat menurunkan angka persalinan per vaginam dengan tindakan (ekstraksi cunam atau vakum), mengurangi kejadian nilai Apgar rendah, dan mengurangi kejadian endometritis (6).
2. Mekonium yang kental dalam cairan amnion
Dikeluarkannya mekonium ke dalam cairan amnion akan menimbulkan risiko sindroma aspirasi mekonium. Sindroma aspirasi mekonium terjadi pada sekitar 1.8-18 % bayi yang dilahirkan dengan amnion bercampur mekonium. Angka mordibitas dan mortalitas perinatal akan meningkat (7). Sekitar 2 % dari total kematian perinatal disebabkan oleh sindroma aspirasi mekonium (8).
Aspirasi mekonium umumnya terjadi intrauterin, meskipuin mungkin juga terjadi pada waktu bayi dilahirkan dan bernafas pertama kali. Pada keadaan oligohidramnion dan kompresi tali pusat, aspirasi mekonium terjadi akibat hipoksia dan hiperkapnia pada janin. Keadaan ini akan merangsang janin melakukan gerakan bafas (gasping)(7).
Resiko aspirasi mekonium cukup tinggi pada janin dengan mekonium yang kental, terutama bila janin mengalami hipoksia. Mekonium yang encer tidak menyebabkan terjadinya sindroma aspirasi mekonium dan tidak menambah mortalitas perinatal. Upaya untuk mengencerkan mekonium yang kental akan mengurangi kejadian sindroma aspirasi mekonium (9,10).
Mekonium yang kental biasanya terjadi pada keadaan oligohidramnion, oleh karena mekonium tidak diencerkan oleh cairan amnion. Secara teoritis, amnioinfusi akan menambah volume cairan amnion yang sedikit, melindungi tali pusay dari kompresi, dan mengencerkan serta mengeluarkan mekonium yang terhisap oleh janin mengalami hipoksia atau asfiksia (11).
Banyak penelitian membuktikan bahwa amnioinfusi dapat mengurangi kekentalan mekonium melarutkan mekonium yang melekat di bagian bawah pita suara, mengurangi kejadian sindroma aspirasi mekonium, dan mengurangi penggunaan alat ventilasi pada neonatus (12).
TEHNIK AMNIOINFUSI (7)
Amnioinfusi dapat dilakukan dengan cara transbdominal atau transservikal (transvaginal). Pada cara transabdominal, amnioinfusi dilakukan dengan bimbingan ultrasonografi (USG). Cairan NaCl fisiologis atau Ringer laktat dimasukkan melalui jarum spinal yang ditusukkan ke dalam kantung amnion yang terlihat dengan ultrasonografi. Pada cara transservikal, cairan dimasukkan melalui kateter yang dipasang ke dalam kavum uteri melalui serviks uteri.
Selama tindakan amnioinfusi, denyut jantung janin dimonitor terus dengan alat kardiotokografi (KTG) untuk melihat perubahan pada denyut jantung janin.
Mula-mula dimasukkan 250 ml bolus cairan NaCI atau Ringer laktat selama 20-30 menit. Kemudian dilanjutkan dengan infus 10-20 ml/jam sebanyak 600 ml. Jumlah tetesan infusi disesuaikan dengan perubahan pada gambaran KTG. Apabila deselerasi variabel menghilang, infusi dilanjutkan sampai 250 ml, kemudian tindakan dihentikan, kecuali bila deselerasi variabel timbul kembali. Jumlah maksimal cairan yang dimasukkan adalah 800-1000 ml. Apabila setelah 800-1000 ml cairan yang dimasukkan tidak menghilangkan deselerasi variabel, maka tindakan dianggap gagal.
Selama amnioinfusi dilakukan monitoring denyut jantung janin, dan tonus uterus. Bila tonus meningkat, infusi dihentikan sementara sampai tonus kembali normal dalam waktu 5 menit. Bila tonus uterus terus meningkat sampai 15-30 mm/Hg di atas tonus basal, maka tindakan harus dihentikan.
Selama tindakan amnioinfusi seringkali terjadi kebocoran cairan dari kavum uteri.
KONTRAINDIKASI (6)
Terdapat beberapa kontraindikasi untuk tindakan amnioinfusi, antara lain :
1. Amnionitis
2. Polihidramnion
3. Uterus hipertonik
4. Kehamilan kembar
5. Kelainan kongenital janin
6. Kelainan uterus
7. Gawat janin yang berat
8. Malpresentasi janin
9. pH darah janin <7.20
10. Plasenta previa atau solusi plasenta.
KOMPLIKASI(6,13)
Meskipun amnioinfusi cukup mudah dan aman dilakukan, beberapa komplikasi mungkin terjadi selama tindakan, antara lain:
1. Prolapsus tali pusat
2. Ruptura pada jaringan parut bekas seksio sesarea
3. Polihidramnion iatrogenik
4. Emboli cairan amnion
5. Febris intrapartum
BEDAH JANIN INTRAUTERIN
Hermanto Tri Joewono
If these babies can’t be saved after they’re born , why not before ?
Michael Harrison
Kemajuan yang luar biasa dibidang diagnosis prenatal, telah mendorong perkembangan terapi invasif terhadap janin, sejalan dengan makin majunya pengetahuan tentang perjalanan penyakit dan patofisiologi kelainan bawaan janin.
Sekitar 3 – 5 % bayi baru lahir mempunyai kelainan bawaan janin (KBJ), tetapi penyebabnya sering tidak diketahui.
Beckman dan Brent mengusulkan penggolongan penyebab kelainan bawan janin sebagai berikut:
Genetik 20 – 25 %
Infeksi janin 3 – 5 %
Penyakit ibu 4 %
Obat-obatan < 1 %
Tidak diketahui 65 – 75 %
Disamping itu ternyata kelainan bawaan janin merupakan penyebab paling banyak kematian bayi dan penyebab kematian kelima sebelum umur 65 tahun di Amerika Serikat. Pada beberapa KBJ tertentu kematian dapat dikurangi dengan melakukan penanganan sebelum persalinan.
Mengingat hal tersebut diatas para ahli mulai mencoba melakukan penelitian tentang perawatan dan pengobatan dalam rahim secara medisinal, pembedahan atau terapi invasif yang lain.
Pada tahun 1960 – 1970 segera setelah KBJ terdiagnosis, yang dilakukan adalah melakukan terminasi kehamilannya pada umur kehamilan kurang dari 24 minggu atau meneruskan kehamilan sampai aterm dengan memilih tempat persalinan yang memiliki dokter spesialis anak yang ahli dibidang KBJ tersebut.
Era terapi invasif pada janin dimulai tahun 1963 oleh Freda dan Adamsons yang melakukan exchange tranfusion dalam rahim pada bayi dengan erythroblastosis, namun hasilnya sangat mengecewakan . Untungnya Liley dkk pada tahun yang sama berhasil melakukan tranfusi intraperitoneal janin, yang sampai saat ini tehnik tersebut masih berkembang dengan diperkenalkannya kateter shunting, bedah janin terbuka, dan yang terakhir dengan bedah fetoskopi.
Meskipun telah dicapai kemajuan yang menggembirakan, penyulit – penyulit yang dihadapi masih belum seluruhnya teratasi misalnya terjadinya partus prematurus, tehnik operasi yang sulit pada janin kecil dan pemantauan kesejahteraan janin yang sangat ketat, disamping persoalan etik dan hukumnya.
Bila kita membicarakan bedah janin , kita harus mencatat prestasi yang dicapai oleh kelompok Harrison yang mungkin sampai saat ini merupakan satu satunya kelompok yang melakukan bedah janin (terbuka ) dengan keberhasilan yang menjanjikan, terutama pada kasus hernia diafragmatika kongenital.
JANIN SEBAGAI PASIEN BEDAH
Sebagai pasien, janin relatif sulit terjangkau (inaccessable), karena letaknya dalam rahim, terendam dalam cairan ketuban, dan karena gangguan terhadap lingkungan yang melindunginya dapat berakhir gugurnya kehamilan. Dengan demikian maka pendekatan diagnostik dan teapeutik yang tidak langsung atau pendekatan secara invasif yang minimal secara tradisional lebih disukai.
Persyaratan minimal yang harus dipenuhi untuk intervensi janin adalah adanya spesialis obstetri & ginekologi yang ahli dalam tindakan intervensi perinatal, ahli bedah janin, ahli genetika, dan mereka yang memahami bidang etik dan hukum kedokteran.
Malformasi yang dipertimbangkan untuk bedah janin hendaknya memenuhi kriteria :
1. malformasi tersebut diyakini tidak disertai kelainan bawaan janin lain yang mematikan (letal),
2. kelainan bawaan janin tersebut telah diketahui perjalanan penyakitnya, dan menyebabkan kelainan yang menetap setelah kelahiran,
3. perbaikan cacat bawaan tersebut hendaknya memungkinkan untuk dilakukan dan harus menghentikan atau mencegah proses kerusakan yang terjadi,
4. bedah janin tersebut tidak berpengaruh banyak terhadap ibu maupun kesuburannya.
HUBUNGAN LANGSUNG (SHUNTING)
Era baru terapi janin invasif dimulai pada awal 1980 dengan diperkenalkannya prosedur shunting pada hidrosefalus dan hidronefrosis oleh beberapa kelompok peneliti. Perjalanan kelainan bawaan janin ini telah dipelajari dengan pengamatan ultrasonogarfi pada kasus yang tidak diterapi. Janin-janin dengan uropati obstruktif berat yang diikuti sampai aterm, bayi sering lahir dengan hidronefrosis berat, dan hipoplasi paru yang berakhir dengan kematian. Demikian juga pada hidrosefalus nampaknya pada beberapa kasus shunting telah memperbaiki hasil akhir neurologisnya.
Shunting pada hidrosefalus
Pertama kali dilakukan oleh Birnholtz dan Frigaletto 1981 dengan melakukan aspirasi serial dengan jarum pada ventrikel yang membesar, kemudian disempurnakan dengan shunt berkatup yang menghubungkan ventrikel dan cairan ketuban yang dilakukan oleh beberapa peneliti dengan hasil angka hidup dua kali lebih baik. Tetapi ternyata angka bayi yang secara neurologis normal tidak berbeda secara bermakna.
Akhir–akhir ini, adanya bedah neonatus sesudah kelahiran, telah memperbaiki hasil akhir neurologisnya sampai tiga perempatnya, sehingga shunting intrauterin pada hidrosefalus saat ini tidak dilakukan lagi di Amerika Serikat.
Shunting pada uropati obstruktif
Dari berbagai penelitian , kasus yang akan memperoleh hasil yang maksimal adalah yang :
1. hidronefrosis bilateral
2. megacystitis
3. oligohidramnion
4. tidak ada KBJ lain
5. hasil analisa vesico sentesis :
· Natrium < 100 mg / d1
· Kalsium < 8 mg / 1
· Osmolality < 200 mOsm / 1
· Beta-2 microglobulin < 4 mg / 1
· Protein total < 20 mg / 1
Penurunan nilai tersebut pada pemeriksaan serial
Tehnik shunting pada uropati obstruktif
1. Posisi janin dipastikan, sehingga diperkirakan memungkinkan memasuki dinding depan samping abdomen,
2. Bila terdapat oligohidramnion berat, dilakukan anestesi lokal,
3. Dilakukan insisi dinding abdomen, jarum dimasukkan dengan tuntunan ultrasonografi melalui jaringan ibu sampai cairan ketuban, kemudian dinding perut janin dan buli buli,
Penyulit tindakan:
· Khorioamnionitis
· Asites, hernia
· Pembuntuan kateter
· Trauma pada janin
Dari beberapa peneliti didapatkan, bahwa tehnik ini hanya merupakan suatu tindakan yang sementara saja seperti alur yang diusulkan oleh Harrison.
BEDAH JANIN TERBUKA
Bedah janin terbuka ini diawali oleh keberhasilan kelompok Harrison tahun 1982, yang melakukan bilateral ureterostomi pada uropati obstruktif, meskipun janinnya akhirnya meninggal karena hipoplasia paru. Keberhasilan ini diikuti dengan keberhasilan pada kasus yang lain, antara lain hernia diafragmatika kongenital, dan juga pembedahan yang dilakukan oleh peneliti peneliti lain dari berbagai negara, yang saat ini jumlah keseluruhannya baru sekitar 50 penderita.
Kelompok Harrison telah mengembangkan tehnik anestesi, tokolisis dan pembedahan berdasarkan percobaan pada binatang, antara lain dengan mengembangkan alat penjepit uterus (uterine stapling device) yang mengurangi perdarahan, sehingga penyulit untuk ibu menjadi minimal, alat pemantau gelombang denyut jantung janin dan kontraksi rahim ( dengan radiotelemetri ) dan kombinasi tokolisis untuk mencegah partus prematurus.
Bedah Janin Terbuka pada Hernia Diafragmatika Kongenital
Berdasarkan percobaan terhadap kambing dengan membuat hernia diafragmatika kongenital artifsialis, perjalanan penyakit ini lebih mudah dipahami, sehingga pada saat ini tujuan bedah janini terbuka pada hernia diafragmatika kongenital adalah mencegah terjadinya hipoplasia paru dengan mengembalikan organ organ abdomen ke dalam rongga perut, memasang tambal silastik untuk melebarkan rongga perut, dan mencegah penekanan vena umbilikalis akibat peningkatan tekanan rongga abdomen.
Tehnik Bedah Janin Terbuka pada Hernia Diafragmatika Kongenital menurut kelompok Harrison
1. Dilakuakn pembiusan ibu dengan halotan,
2. Air ketuban diisap dan disimpan secara steril dan dihangatkan sekitar 37 C,
3. Insisi pada dinding abdomen dan uterus, dan dengan dengan tuntunan ultrasonografi dilakukan pembiusan janin melalui pembuluh darah tali pusat, sementara itu juga dilakukan analisis gas darah janin dan selalu membasahi janin dengan larutan Ringer Laktat steril,
4. Kaki janin dikeluarkan, dilakukan insisi pada daerah tulang rusuk janin, organ yang mengalami herniasi dikeluarkan dari rongga dada, sehingga tepi hiatus diafragma terlihat dengan kaca pembesar,
5. Dipasang tambal silastik, dan rongga dada diisi cairan Ringer laktat,
6. Dipasang tambal silastik kedua pada rongga perut atau penambahan kantong plastik diluar rongga perut untuk memperbesar rongga perut,
7. Cairan ketuban dimasukkan kembali atau diganti cairan Ringer laktat,
8. Luka dinding rahim dijahit 2 lapis ketat dan ditambahkan perekat biologik,
9. Dilakukan pemantauan janin dan pemberian tokolisis yang agresif.
Saat saat kritis pada operasi ini adalah saat mengeluarkan organ yang mengalami herniasi dan memasukkan ke dalam rongga perut, serta pemantauan janin pasca operasi.
Penyulit bedah janin terbuka pada hernia diafragmatika kongenital:
q kematian janin karena penjepitan vena umbilikalis
q partus prematurus
q pengaruh tokolisis yang diberikan
Dari sekitar 61 kasus yang telah dilakukan bedah janin terbuka, kelompok Harrison mengusulkan kriteria seleksi penderita sebagai berikut:
q kehamilan lebih dari 28 minggu
q hepar dan lambung tidak dalam rongga dada
q ratio paru / dada besar
q tidak ada polihidramnion
BEDAH JANIN TERTUTUP (ENDOSKOPIK-LAPAROSKOPIK)
Endoskopi janin telah digunakan sebelum ultrasonografi digunakan secara luas di bidang kedokteran fetomaternal. Pemakaian endoskopi janin dimulai tahun 1954, mencapai puncak kemashuran pada tahun 1970 dan awal 1980, sebagai cara untuk memeriksa janin dan alat bantu diagnostik dalam mengambil jaringan atau darah janin.
Dengan dikembangkannya sonografi diagnostik resolusi tinggi, prosedur invasif yang dipandu ultrasonografi telah menggantikan fetoskopi sebagai alat diagnostik dan terapi terhadap janin.
Sejak tahun 1980, terjadi revolusi di bidang endoskopik dengan berkembangnya fibreoptics dan teknologi peralatan operasi. Penggunaan koagulasi elektro bipolar, video dan pengembangan peralatan bedah endoskopik, pada hakekatnya mengubah berbagai keahlian di bidang pembedahan, terutama bedah umum, antara lain kholesistektomi endoskopik dengan morbiditas yang lebih sedikit dibanding dengan laparotomi biasa, hal ini juga terjadi di bidang ginekologi.
Keuntungan yang dimiliki oleh bedah endoskopik ini, dapat dipakai dalam bedah janin, mengingat morbiditasnya sangat berhubungan dengan respons miometrium dan selaput ketuban terhadap insisi.
De Lia dkk yang pertama kali mendemonstrasikan penggunaan laser YAG pada binatang, ternyata digunakan untuk melakukan seleksi janin pada sindroma transfusi antar janin, dan kemudian dilaporkan oleh Estes pada bibir sumbing, yang hasilnya menunjukkan penyembuhan tanpa bekas.
Seiring dengan lebih banyaknya penelitian di bidang bedah janin endoskopik, juga dikembangkan berbagai peralatan yang diperlukan seperti misalnya trokar balon, pompa cairan ketuban, alat pemantau janin yang ukurannya kecil dan lain sebagainya.
Selain itu juga diketahui bahwa penggembungan perut janin dengan menggunakan gas seperti yang dilakukan pada operasi laparoskopi, ternyata berdampak asidosis janin, menghalangi pemantauan dengan ultrasonografi, dan mengganggu transmisi cahaya, sehingga untuk penggembungan perut janin digunakan cairan kristaloid.
Visualisasi janin yang didapat dari gabungan antara hasil ultrasonografi dan endoskopi, memberi suatu pemandangan panoramik, yang tidak dapat diperoleh dengan menggunakan endoskopi yang kecil; jenis endoskopi yang dipilih berbeda dengan yang biasa digunakan untuk diagnostik dan terapi. Yang perlu diperhatikan adalah, bahwa endoskop harus lebih panjang, mengingat adanya gerakan janin serta perubahan posisi janin. Peralatan bedah yang digunakan harus disesuaikan dengan ukuran janin yang kecil dan belum tentu tersedia di pasaran.
Menurut Chrombleholme dkk indikasi bedah janin endoskopi sampai saat ini adalah :
a. Posterior urethral valves
b. Sindroma transfusi antar janin kembar
c. Bibir sumbing
d. Myelomeningcele
e. Amniotic band syndrome
f. PLUG
g. Tracheoskopi janin
Penyulit bedah janin endoskopi
q Kematian janin sekitar 3 %
q Kebocoran cairan ketuban
Salah satu keuntungan bedah janin adalah adanya penyembuhan luka tanpa bekas, sehingga sangat baik untuk koreksi kelainan bawaan janin yang kosmetis, seperti misalnya pada bibir sumbing.
PENUTUP
Bedah janin merupakan cabang kedokteran fetomaternal yang mengalami perkembangan yang sangat cepat, dengan berbagai hambatannya antara lain dari segi etika, hukum, maupun teknik pembedahannya.
Diharapkan dalam dekade mendatang berbagai hambatan tersebut dapat teratasi, sehingga penanganan janin yang belum lahir dengan pembedahan dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas neonatus yang disebabkan oleh kelainan bawaan.
DASAR RESUSITASI DAN
TERAPI INTRAUTERIN
Sulchan Sofoewan & Rukmono Siswishanto
Dengan teknik monitoring janin yang semakin maju, keadaan hipoksia janin dapat dideteksi baik pada masa ante maupun intrapartum. Konsekuensi dapat dideteksinya keadaan hipoksia janin adalah dilakukannya tindakan untuk mengatasinya sehingga luaran kehamilan tetap baik. Intervensi untuk memperbaiki sirkulasi uteroplasenta sehingga oksigenasi janin membaik disebut dengan resusitasi intrauterin (West dkk, 1993). Berbeda dengan resusitasi intrauterin, terapi intrauterin memiliki pengertian intervensi yang dikerjakan untuk melakukan terapi medik dan atau operatif terhadap kelainan-kelainan pada janin. Konsep “Fetus Sebagai Pasien” berkembang seiiring dengan semakin majunya pengetahuan tentang patofisiologi dan perjalanan alami dari kelainan pada janin, kemampuan melakukan diagnosis kelainan-kelainan janin dan kemampuan dalam terapi intrauterin (Flake dkk, 1994)
Indikasi Resusitasi Intrauterin
Apabila ditemukan bukti klinis terjadinya hipoksia pada janin, maka resusitasi intrauterin perlu dilakukan. Kriteria pengamatan janin secara elektronik disebut tidak meyakinkan, sehingga perlu dilakukan upaya pemeriksaan yang lebih spesifik atau segera dilakukan resusitasi intrauterin adalah bila didapatkan satu atau lebih gambaran sebagai berikut (ACOG, 1995):
DJJ basal 100-110x/menit tanpa akselerasi
DJJ basal < 100 dengan akselerasi
Peningkatan variabilitas: > 25x/menit selama > 30 menit
Deselerasi lambat (sedikitnya 1 dalam 30 menit)
Variabilitas berkurang: <> 30 menit
Deselerasi lambat persisten (> 50% kontraksi) selama > 15 menit
Takikardia > 160x/menit dengan variabilitas jangka panjang < 5x/menit
Pola sinusoidal
Deselerasi variabel yang terdapat satu atau lebih gambaran: penurunan relatif 70x/menit atau absolut menurun sampai 70x/menit selama 60 detik, lambat pulih ke DJJ basal yang persisten, variabilitas jangka panjang <> 160x/menit, deselerasi diperpanjang yang rekuren (2 atau lebih di bawah 70x/menit selama > 90 detik dalam 15 menit).
Apabila digunakan pulse oximetry intrapartum, saturasi oksigen janin < 30 % menunjukkan adanya hipoksia janin selama persalinan (Simpson, 2001), sehingga memerlukan tindakan resusitasi intrauterin.
Teknik Resusitasi Intrauterin
Langkah-langkah resusitasi intrauterin secara umum dimaksudkan untuk membuat kondisi janin menjadi stabil dalam waktu sesingkat mungkin agar kehamilan dapat berjalan terus atau setidaknya kehamilan tersebut dapat dikontrol dan persalinan yang aman dapat dilakukan pada keadaan yang tidak gawat darurat (Donn & Faix, 1996). Rekomendasi ACOG (1995) untuk memperbaiki perfusi plasenta dan oksigenasi janin apabila didapatkan gambaran DJJ yang tidak meyakinkan adalah: memberikan oksigen pada ibu menggunakan face mask sebesar 8-10 L/menit, posisi miring ke samping, menghentikan atau menunda pemberian obat-obatan yang menstimulasi kontraksi uterus, dan apabila volume intravaskuler dinilai kurang, maka diberikan cairan intravena.
Dalam keadaan oligohidramnion, hipoksia janin dapat terjadi karena kompresi tali pusat. Amnioinfusi untuk mengoreksi oligohidramnion dilakukan dengan memasukan cairan saline hangat intrauterin dapat menurunkan kompresi tali pusat yang sukar untuk diperbaiki dengan perubahan posisi ibu (West dkk, 1993; Donn & Faix, 1996). Pada keadaan adanya mekonium dalam cairan amnion, teknik ini dilaporkan dapat menurunkan insidensi dan beratnya sindroma aspirasi mekonium neonatus (Donn & Faix, 1996).
Oksigenasi janin dapat ditingkatkan, asidosis dapat diturunkan, dan pola denyut jantung janin diperbaiki dengan beberapa macam tindakan sebagaimana ditunjukkan dalam tabel berikut (West dkk, 1993; Flake & Harrison, 1994):
Sebab
Kemungkinan yang dihasilkan pola DJJ
Perasat-perasat koreksi
Mekanisme
Hipotensi, misal hipotensi supinasi, konduksi anestesi
Bradikardi, deselerasi lambat
Cairan intravena, perubahan posisi,efedrine
Aliran darah uterus kembali menuju normal
Aktivitas uterine berlebihan
Bradikardi, deselerasi lambat
Oksitosin diturunkan, posisi miring
Sama seperti di atas
Kompresi tali pusat sementara
Variabel deselerasi
Perubahan posisi ibu misal miring ke kiri atau ke kanan, trendelenburg.
Amnioinfusion
Melindungi tali pusat dari kompresi
Kompresi kepala biasanya pada kala II
Variabel deselerasi
Dorong hanya dengan kontraksi bergantian
Sama seperti di atas
Aliran darah uterus menurun berhubungan dengan kontraksi uterus dibawah batas kebutuhan dasar o2 janin
Deselerasi lambat
Perubahan posisi ibu misal miring ke kiri atau ke kanan, trendelenburg.membuat hiperoksia ibu .
Tokolitik misal ritrodine atau terbutalin
Memperbaiki aliran darah uterine sampai optimal,kenaikan dalam ibu-janin o2
Menurunkan kontraksi atau tonus uterus,
Asfiksia yang berkepanjangan
Penurunan variabilitas DJJ
Perubahan posisi ibu misal miring ke kiri atau ke kanan, trendelenburg.membuat hiperoksia ibu .
Memperbaiki aliran darah uterine sampai optimal,kenaikan dalam ibu-janin o2
Evaluasi Resusitasi Intrauterin
Keputusan mengenai cara dan saat persalinan pada kasus yang dilakukan resusitasi intrauterin didasarkan pada penilaian atas seluruh faktor persalinan termasuk hasil-hasil pengamatan kesejahteraan janin. Hasil resusitasi intrauterin dinilai berdasarkan perubahan-perubahan atas parameter yang sebelumnya dipakai untuk memutuskan dilakukannya resusitasi intrauterin. Belum ada kesepakatan mengenai berapa lama resusitasi intrauterin dapat dilakukan, tetapi pada kasus-kasus gawat janin sebaiknya waktu antara ditegakkannya diagnosis gawat janin hingga dilakukannya operasi (decision to incision time) tidak melebihi 30 menit.
Terapi intrauterin
Intervensi terapi intrauterin meliputi tindakan pengobatan dan atau operasi terhadap kelainan-kelainan pada janin. Pengobatan ditujukan untuk mengatasi kelainan-kelainan janin nonanatomik, sedangkan operasi janin dimaksudkan untuk mengoreksi kelainan-kelainan anatomik janin. Terapi pada janin mempunyai banyak keuntungan dibandingkan tindakan yang dilakukan setelah lahir oleh karena sifat yang unik dari pertumbuhan dan sifat kelainan janin.
Pengobatan yang dapat diberikan pada janin intrauterine antara lain (Flake & Harrison, 1994):
Kelainan
Misal
Terapi
Anemia
Rh isoimmunisasi
Sel darah merah antigen lainnya
Transfusi: intraperitoneal atau intravena
Transfusi
Defisiensi surfaktan
Immaturitas pulmonum
Glukokortikoid :transplasental
Defek biokimia
Defisiensi karboksilase mutipel
Asidemia metylmalonik
Menke”s kinky-hair syndrome
Galaktosemia
Biotin transplasental
Vitamin B12transplasental
Copper transplasental
Pembatasan galaktose selama hamil
Kardiak aritmia
Supraventrikular takikardia
Heart block
Digitalis , propanolol,prokainamid,transplacental
Beta mimetik transplasental
Defisiensi endokrin
Hiperplasia adrenal kongenital
Hipotiroidism dan goiter
Kortikosteroid transplasental
Tiroksin transamniotik
Tindakan operasi yang dapat dilakukan pada janin intrauterin antara lain:
Defek pada janin
Efek
Hasil
Terapi
Hernia diafragmatik
Hipoplasia paru
Gagal pernafasan
Open repair, oklusi trakhea sementara
Malformasi adenoma kistik
Hipoplasia paru
Hidrops
Hidrops dan kematian
Lobektomi pulmo terbuka
Stenosis aquaduktus
Hidrosephalus
Hidrops dan kematian
Shunt ventrikuloamniotik
Blok jantung komplit
Output rendah
Hidrops dan kematian
Pacu jantung percutan, pacu jantung terbuka
Obstruksi arteri pulmonal atau aorta
Hipertropi ventrikel
Gagal jantung
Valvuloplasti perkutan
TRANSFUSI INTRAUTERIN
Gulardi H. Wiknjosastro
Tindakan transfusi intrauterine dilakukan atas indikasi: anemia janin yang berat seperti pada isoimunisasi Rhesus, atau pada penyakit hemolisis lainnya akibat infeksi.
Tentu saja diagnosis anemia janin harus mengikuti ketentuan, misalnya bilirubin cairan amnion meningkat atau hematokrit kurang dari 30%. Kecenderungan akan inkompatibilitas Rhesus yang berat dapat dilihat dari laporan Bowman (1985) yaitu: ibu dengan Rh (-) dan janin kompatibel ABO, yang melahirkan bayi Rh (+), mempunyai probabilitas 16%. Sebanyak 2% sudah terimunisasi saat melahirkan, 7% akan mempunyai anti D pada 6 bulan postpartum dan 7% akan menunjukkan isoimunnisasi pada kehamilan berikutnya. Oleh karena itu penting sekali memberikan anti D imunglobulin saat diketahui ibu hamil 28 minggu dan saat partus, dengan demikian menghindarkan imunisasi yang berat.
Transfusi intrauterine dapat menyelamatkan kematian janin dari 55% menjadi 29% akibat isoimunisasi pada hidrops fetalis, namun bila belum hidrops penyelamatan lebih efektif sampai 92 %(2).
Kini tindakan transfusi intrauterine untuk indikasi diatas menjadi jarang dengan upaya profilaksis seperti diatas. Di Indonesia ibu dengan Rh (-) amat jarang, namun pemeriksaan golongan darah mutlak perlu untuk menghindarkan isoimunisasi.
Teknik
Dengan ultrasonograafi pencitraaan janin yang mengalami anemia berat dapat diduga dengan adanya gambaran awal dari hidrops fetalis pada edema kulit dan asites, serta plasenta yang tebal.
Demikian pula adanya velositas darah janin yang meningkat.
Pada inkompatabilitas Rhesus yang terjadi pada anak kedua dst, kecurigaan sudah dapat dibuat dengan adanya peningkatan kadar bilirubin cairan amnion.
Kini dengan kordosentesis diagnosis hemolisis lebih tepat dengan analisa Hb dan hematokrit janin; namun patut difahami risiko perdarahan dan kematian janin.
Persiapan transfusi ialah tersedianya darah golongan O Rh (-) yang dibuat kental dengan
Hematokrit 50%, dan jumlahnya diperhitungkan dengan kadar Hb janin. Transfusi intrauterine dapat dilakukan dengan cara : a. intraperitenal, b. intraumbilikal (intravaskular).
Pada intraperitoneal jarum dimasukkan sampai menembus dinding abdomen janin dengan bantuan USG, pastikan tidak mencederai hati atau usus dengan melakukan aspirasi. Kemudian darah disuntikan perlahan. Tindakan mungkin perlu dilakukan bila hemolisis janin kembali memberat sebelum kehamilan 34 minggu.
Pada trasnfusi intraumbilikal: setelah lokasi insersi tali pusat ditentukan dengan USG maka jarum dimasukkan langsung ke pembuluh darah dan setelah diyakini dengan aspirasi, darah Rh (-) disuntikkan (lihat gambar). Tindakan transfusi intravaskular seperti ini mempunyai risiko kematian janin 0.8%, namun memberi hasil keselamtan lebih baik dibandingkan teknik intaperitenal (91% vs 66%) (Harman dkk, 1990)
KAMUS INDONESIA-INGGRIS
FALSAFAH HIDUP
Hidup adalah kegelapan jika tanpa hasrat dan keinginan. Dan semua hasrat -keinginan adalah buta, jika tidak disertai pengetahuan . Dan pengetahuan adalah hampa jika tidak diikuti pelajaran. Dan setiap pelajaran akan sia-sia jika tidak disertai cinta
Rabu, 13 Agustus 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
dok, istri saya pecah ketuban di usia kehamilan kurang lebih 20 minggu. setelah dicek ke dokter, katanya tinggal sisa sedikit air ketubannya. katanya kondisi janin bayi sehat ditandai dari denyut jantungnya termasuk normal. singkat cerita istri saya bedrest, tapi setelah 2 minggu, ada darah di pembalutnya dan setelah dicek kembali ke dokter katanya bukaan 1 dan bayi harus dikeluarkan. saya ingin tanya apakah ada cara lain dok untuk istri saya bisa melahirkan anaknya dan anaknya sehat. terima kasih
Posting Komentar